
Oleh: Mahmud – Sekretaris Umum KPC HMI Cabang Yogyakarta 2024-2025, dan Penulis Buku Lanskap Politik, Hukum, dan Demokrasi Indonesia
Kasus dugaan korupsi kuota haji 2023-2024 telah naik penyidikan. Berbagai pihak telah diperiksa oleh KPK untuk dimintai keterangan dan dicekal pergi keluar negeri, salah satunya mantan Menteri Agama (Menag), Yaqut Cholil Qoumas, termasuk agen-agen travel haji yang diduga terlibat dalam pembagian kuota haji tambahan 2024. Meski kasus ini telah naik penyidikan, namun sejauh ini belum ada penetapan tersangka. Tentu publik menaruh curiga, kenapa belum ada penetapan tersangka, padahal kasus ini sudah naik penyidikan.
Jika dilihat dari rentang waktu penyidikan—sejak ditetapkan pada 9 Agustus hingga 18 Agustus 2025, belum ada penetapan tersangka. Publik menaruh curiga, adakah kompromi atau lobi-lobi politik dalam penanganan kasus ini? Benarkah ini bagian dari pendalaman dan pengembangan kasus? Atau ini bagian dari kalkulasi elektoral 2029 karena basis massa, sehingga ada yang perlu “diselamatkan” dan dikorbankan? Dengan kata lain, “dikondisikan”.
Tentu saja kita harus mengedepankan asas praduga tak bersalah, apapun kasusnya dan siapapun orangnya. Dan kita percayakan pada KPK untuk mengusut kasut ini seterang-terangnya meski sesungguhnya kasus ini sudah terang. Namun, dengan melihat KPK belakangan ini, khususnya pasca-revisi UU KPK pada 2019, kepercayaan itu berubah menjadi ketidakpercayaan.
Postur Kasus
Bermula dari kuota haji tambahan 20.000 calon jamaah haji yang diberikan oleh Pemerintah Arab Saudi kepada pemerintah Indonesia. Kuota haji tersebut diperuntukkan untuk haji reguler karena antrean panjang, hingga puluhan tahun dan pada saat bersamaan, calon jamaah haji terkejar usia. Oleh Menag Yaqut Cholil Qoumas, membagi kuota tersebut menjadi 10.000 untuk kuota haji reguler dan 10.000 untuk kuota haji khusus. Pembagian kuota haji tersebut terterang dalam Surat Keputusan (SK) Menteri Agama Nomor 130 Tahun 2024.
Perhitungan awal KPK, kerugian negara akibat dugaan korupsi pembagian kuota haji mencapai labih dari Rp1 triliun. Angka yang sangat tinggi untuk sebuah korupsi di Kementerian Agama. Tentu tak dibenarkan korupsi di kementerian/lembaga atau di tempat lain. Apapun dalilnya, korupsi tak dibenarkan oleh hukum, agama, dan kemanusiaan. Lebih jauh lagi, korupsi telah merampas hak rakyat—termasuk hak haji reguler, mengkhianati kepercayaan rakyat, merusak lembaga/istitusi demokrasi, dan memiskinkan rakyat banyak (Peter Eigen, 2003).
Tak terbayangkan, bagaimana korupsi di Kementerian Agama, yang seharusnya menjaga nilai-nilai agama justru tergerus oleh praktik kotor korupsi. Agama tak mengajarkan korupsi, mengambil hak orang lain, mengeksploitasi orang lain, menindas orang lain. Agama mengajarkan kebenaran, keadilan, kemanusiaan, inklusivitas, kesetaraan, cinta kasih, dan kasih sayang terhadap sesama—melampaui batas-batas perbedaan. Perbedaan itu pembatas. Untuk melampaui batas-batas itu, maka bangun lah relasi atas dasar cinta dan kemanusiaan, termasuk dalam menjalankan amanah rakyat. Korupsi di Kementerian Agama, selain menggerus nilai-nilai agama juga memperlihatkan matinya nurani kemanusiaan dan hilangnya kepekaan terhadap antrean panjang calon jamaah haji reguler berpacu dengan usia.
Dulu kasus dugaan korupsi kuota haji 2023-2024 pernah dileporkan oleh masyarakat sipil ke KPK. Pun DPR pernah membentuk Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket Haji 2024 dan menemukan sejumlah dugaan penyimpangan. Salah satunya itu terkait 3.500 anggota jamaah haji khusus 0 tahun berangkat haji 2024. Padahal, dalam peraturan, jamaah haji yang mendaftaf pada tahun yang sama tidak boleh langsung berangkat (Kompas.id, 15/9/2024). Namun, laporan itu tak begitu mendapat respons dari KPK dan Pansus Hak Angket Haji tak digubris oleh Menag Yaqut Cholil Qoumas.
Begitulah kekuasaan jika dirasa dimilikinya, ia lupa bahwa kekuasaan ada batasnya. Begitu peta kekuasaan berubah atau arah angin kekuasaan berubah, arah telunjuk sedang mengarah padanya. Ia sedang menghadapi kasus hukum yang dibuatnya sendiri.
Deja vu Korupsi Pengelolaan Haji
Kasus dugaan korupsi kuota haji tidak hanya terjadi era Menag Yaqut Cholil Qoumas. Korupsi pengelolaan haji terjadi sejak lama. Pada 2006, Said Agil Husin Al Munawar dihukum 5 tahun penjara. Pada 20014, Suryadharma Ali divonis 6 penjara. Mereka dipenjara karena terbukti korupsi dalam pengelolaan haji. Artinya, ini bukan hanya masalah personal kepemimpinan seseorang, melainkan juga masalah sistemik, tata kelalo, kelembagaan, dan kultur.
Di sini lah komitmen presiden Prabowo Subianto di uji untuk memberantas korupsi, tak hanya memburu koruptor sampai ke Antartika, melainkan juga memburu koruptor di sekitar Kementerian, yang disebut-sebut namanya menerima aliran dana dugaan hasil korupsi dalam fakta persidangan.
Benar peribahasa Indonesia, gajah di pelupuk mata tidak terlihat, semut di seberang lautan terlihat. Di sini, secara tidak langsung kekuasaan mengajarkan, jika ingin korupsi, maka dekat lah dengan kekuasaan. Dan tidak berlaku sebaliknya. Diktator Peru, Oscar Bonavides (1933-1939), untuk teman-teman saya, segalanya. Untuk musuhku, hukum.
Pemberantasan korupsi hanya sekedar gimik—retorika politis, jargon, dan slogan—sementara tuntutan terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset menguap begitu saja di DPR. Korupsi, meminjam Jeremy Pope (2000), terjadi karena insentif terhadap koruptor terlalu tinggi. Korupsi lazim terjadi karena pelakunya mendapatkan keuntungan besar dengan risiko rendah.
Sudah hukumannya ringan, mendapat fasilitas mewah dipenjara, dapat remisi dan lain sebaganya di hari raya atau di hari besar tertentu, setelah bebas dari penjara mencalonkan diri jadi anggota DPR(D) atau kepala daerah. Masyarakat pula permisif terhadap korupsi dan koruptor. Ketika mereka bebas disambut bak pahlawan dan dipilih lagi menjadi anggota DPR(D) atau kepala daerah.
Perbaiki Tata Kelola Haji
Korupsi yang terjadi berulang-ulang di Kementerian Agama harus menjadi perhatian serius. Korupsi di Kementerian Agama tidak hanya menggerus nilai-nilai agama, melainkan juga merusak kemanusiaan dan kepercayaan publik. Karena itu, perlu perbaikan secara sitemik tata kelola haji—secara akuntabel dan transparasn—perbaikan kelembagaan dan kultur juga pengawasan KPK dan publik dalam pengelolaan haji, serta perbaikan sistem pencegahan dan pemberantasan korupsi, penguatan lembaga pemberantasan korupsi, penegakan hukum terhadap korupsi, dan penguatan pendidikan antikorupsi. Dengan demikian, kita dapat mencegah sekaligus berantas korupsi yang terjadi berulang-ulang di Kementerian Agama. (*)