Jakarta (NTBSatu) – Selat Hormuz baru-baru ini menjadi sorotan, setelah Parlemen Iran menyetujui rencana penutupannya sebagai respons atas serangan militer Amerika Serikat.
Meskipun sudah mendapat persetujuan, belum ada kepastian kapan dan bagaimana penutupan ini akan dilaksanakan secara konkret. Sebagai informasi, Selat Hormuz merupakan jalur penting dalam distribusi energi global dan penutupannya berpotensi menimbulkan dampak besar.
Menurut laporan Alarabiya pada Senin, 23 Juni 2025, Dewan Keamanan Nasional Iran tengah mengkaji langkah lanjutan terkait rencana ini.
Anggota parlemen sekaligus Komandan Korps Garda Revolusi Islam (IRGC), Esmail Kosari menyebut, penutupan Selat Hormuz ada dalam agenda dan bisa kapan pun.
Mengenal Selat Hormuz
Selat Hormuz adalah selat sempit selebar sekitar 30 mil atau sekitar 48 kilometer di bagian tersempitnya, terletak antara Semenanjung Musandam di Oman dan Iran. Selat ini menjadi penghubung vital antara Teluk Persia dan Teluk Oman.
Karena kedalamannya cukup dalam dan bebas dari bahaya maritim, selat ini ideal untuk pelayaran kapal-kapal besar, termasuk Very Large Crude Carriers (VLCC).
Lalu lintas kapal di selat tersebut sebagian besar diarahkan melalui skema pemisahan lalu lintas (TSS), di utara Semenanjung Musandam.
Namun, terdapat pula zona lalu lintas pantai di selatan Pulau Didimar, Oman, yang meski cukup dalam, hanya diakses oleh kapal-kapal kecil dalam kondisi damai. Sebelum 1979, zona ini bahkan menjadi jalur utama pelayaran.
Terdapat delapan pulau besar di selat ini, tujuh di antaranya dikuasai oleh Iran. Sengketa kepemilikan dengan Uni Emirat Arab terkait pulau Abu Musa serta Greater dan Lesser Tunb masih berlangsung, meski Iran tetap menjaga kehadiran militer di sana sejak 1970-an.
Kepentingan Dunia
Selat Hormuz, yang menghubungkan Teluk Persia di barat dengan Teluk Oman dan Laut Arab di tenggara, memiliki lebar antara 35 hingga 60 mil (55-95 kilometer). Selat ini menjadi jalur penting bagi kapal tanker minyak dan gas alam cair (LNG).
Pada pertengahan 2010-an, sekitar seperlima dari pasokan minyak global dan sepertiga perdagangan LNG dunia melewati jalur ini.
Pada tahun 2022, sekitar 21 juta barel minyak per hari melintasi Selat Hormuz, mencakup 21 persen konsumsi minyak global.
Penyumbatan titik-titik kemacetan seperti Selat Hormuz bisa menimbulkan dampak besar. Mulai dari tertundanya pasokan energi, naiknya biaya pengiriman, hingga peningkatan harga energi global.
Tidak semua titik kemacetan memiliki jalur alternatif yang efektif, menjadikan selat ini sangat strategis.
Antara 2020 hingga 2022, volume minyak mentah dan produk turunannya meningkat 2,4 juta barel per hari seiring pulihnya permintaan pascapandemi.
Namun, pada paruh awal 2023, pengiriman sempat menurun akibat kebijakan pemangkasan produksi dari negara-negara OPEC+.
Amerika Serikat juga masih mengandalkan selat tersebut, dengan impor sekitar 0,7 juta barel per hari dari Teluk Persia pada 2022. Jumlah ini setara dengan 11 persen impor minyak AS dan 3 persen dari total konsumsi minyak bumi cair AS.
Selat Hormuz memainkan peran vital dalam distribusi energi global, baik untuk minyak mentah maupun LNG.
Ketegangan geopolitik yang mengarah pada kemungkinan penutupan Selat Hormuz oleh Iran, tentu menimbulkan kekhawatiran terhadap stabilitas pasokan energi dunia. (*)