Pariwisata

Mahasiswa Pencinta Alam Protes Rencana Pesawat Amfibi dan Glamping di Rinjani: Bias

Mataram (NTBSatu) – Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) Universitas Mataram (Unram), melontarkan protes keras terhadap rencana pembangunan glamping dan penggunaan pesawat amfibi di kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR).

Mereka menilai rencana tersebut bias dan bertentangan dengan larangan sebelumnya terhadap aktivitas penggunaan drone oleh pendaki.

Ketua Grahapala Rinjani Unram, Wahyu Habibullah menyebut, rencana tersebut sarat kejanggalan.

“Pembangunan glamping berpotensi besar melanggar, karena di kawasan Rinjani itu dilarang bangunan permanen. Sementara drone saja dilarang karena dianggap mengganggu, kok pesawat amfibi malah dibolehkan?. Ini jelas bias,” tegas Wahyu, Jumat, 20 Juni 2025.

IKLAN

Wahyu juga menyoroti dampak serius terhadap mata pencaharian para pegiat wisata lokal. Ia menegaskan, pembangunan fasilitas mewah seperti glamping dan transportasi udara bukan solusi tepat di kawasan konservasi.

“Selain proyek ini akan mengancam mata pencaharian pegiat wisata lokal, masih banyak hal krusial yang diperbaiki BTNGR. Salah satunya terkait pengurangan kuota pendakian. Semakin sesak jalur pendakian, maka ancaman kecelakaan akan semakin besar,” jelasnya.

Grahapala Rinjani beserta organisasi pencinta alam lain pun berencana menggelar audiensi langsung dengan pihak Balai TNGR untuk menyampaikan keberatan.

IKLAN

Ketua Wahana Pencinta Alam (Wanapala) NTB, Arie Syahdi Gare menyamapaikan sikap senada. Ia menilai pengembangan wisata di Rinjani sudah kebablasan.

Ia bahkan mendorong Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk mengembalikan status Gunung Rinjani menjadi Cagar Alam.

“Rencana PT Solusi Pariwisata Inovatif (SPI) membangun 15–20 unit glamping, dan menghadirkan pesawat amfibi yang mendarat di Danau Segara Anak merupakan bentuk pelanggaran terhadap prinsip konservasi,” ujar Arie.

IKLAN

Bertentangan dengan Peraturan LHK

Menurut keterangan Humas PT SPI, Lalu Iswan Mulyadi, pesawat amfibi akan beroperasi tiga kali sehari dan tidak akan menimbulkan kebisingan.

Namun, Arie membantah klaim tersebut. Ia menegaskan bahwa Danau Segara Anak adalah zona inti, habitat satwa langka dan seharusnya tidak boleh menjadi lokasi pendaratan pesawat.

Sementara, pihak Balai TNGR membenarkan bahwa izin rencana tersebut telah berproses sejak 2020 di KLHK. Lokasinya berada di zona pemanfaatan di bawah Plawangan Senaru.

Namun, Arie menilai, rencana tersebut bertentangan dengan Permen LHK Nomor 3 Tahun 2021, khususnya pada poin penyediaan jasa wisata alam di kawasan konservasi.

“Tidak ada dalam regulasi yang membolehkan transportasi udara masuk ke zona inti. Yang disebut hanya kuda, perahu, sepeda atau transportasi tradisional,” jelas Arie.

Sejarah panjang pendakian Rinjani telah berlangsung sejak zaman dahulu, dengan tujuan ibadah, pendidikan, dan penelitian.

Arie mengingatkan bahwa sejak era 1995, masyarakat Lombok dan pegiat lingkungan selalu menolak proyek-proyek besar yang mengabaikan kearifan lokal dan keberlanjutan lingkungan.

“Gunung Rinjani bukan objek bisnis instan. Jika tetap dipaksakan, kami akan mendorong Kementerian untuk mencabut status taman nasional dan mengembalikannya menjadi Cagar Alam,” tegas Arie.

Ia juga menyoroti persoalan ekologi akibat praktik wisata modern. “Sejak kuota pendakian menjadi 170 orang per hari lewat enam jalur, berbagai masalah muncul. Dari perilaku satwa yang berubah karena makanan dari pendaki, toilet portabel yang menimbulkan pencemaran, hingga pengunjung yang buang air sembarangan,” ungkapnya.

Lebih dari 200 Tracking Organizer (TO) yang beroperasi saat ini dinilai sudah cukup untuk mengelola kunjungan pendaki. Arie mengingatkan, agar pengelola TNGR dan pemerintah tidak memaksakan investasi di luar kapasitas ekosistem.

“Jika target menjadikan Rinjani sebagai destinasi pendakian kelas dunia serius, maka pembenahan fasilitas dasar dan edukasi pengunjung jauh lebih penting ketimbang membuka pintu untuk investasi pesawat dan glamping,” pungkas Arie. (*)

Muhammad Khairurrizki

Jurnalis Hukum Kriminal

Berita Terkait

Back to top button