Mataram (NTBSatu) – Celah regulasi dan lemahnya pengawasan pemerintah daerah diduga menjadi faktor utama maraknya alih fungsi lahan hijau menjadi kawasan permukiman di Kota Mataram.
Temuan terbaru Panitia Khusus (Pansus) Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DPRD Kota Mataram mengungkapkan, banyak lahan produktif pertanian kini beralih fungsi tanpa izin yang jelas.
Dalam rapat koordinasi bersama Dinas PUPR dan instansi terkait, terungkap sejumlah pengusaha memanfaatkan minimnya pengawasan dengan menjual tanah dalam bentuk kavling.
Skema ini memungkinkan pembeli membangun rumah atau toko tanpa harus mengurus izin sesuai ketentuan tata ruang. Praktik ini merugikan tata kelola ruang dan melanggar Peraturan Daerah RTRW yang masih berlaku.
Ketua Pansus RTRW, Abd Rachman menekankan, penjualan tanah kavling di lahan hijau Kota Mataram kini menjadi tren yang sulit terkendali.
“Banyak lahan pertanian produktif berubah menjadi permukiman. Proses ini berlangsung tanpa izin dan bebas dari kewajiban pajak daerah. Ini menunjukkan lemahnya kontrol terhadap peruntukan lahan,” tegasnya pada NTBSatu, beberapa waktu lalu .
Berdasarkan citra satelit milik Dinas PUPR, alih fungsi lahan telah terjadi di hampir seluruh kecamatan di Kota Mataram.
Luas Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) bahkan menyusut drastis dari 580 hektare menjadi hanya 339 hektare. Kondisi ini mempersulit langkah penertiban, apalagi banyak bangunan yang telah berdiri secara permanen.
Kepala Dinas PUPR, Lale Widiahning, mengakui bahwa penegakan aturan sangat bergantung pada sinergi antarinstansi.
“Kami terus berkoordinasi dengan Dinas Pertanian dan Dinas Perkim. Selama ini, pembangunan di lahan hijau jelas melanggar Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 dan UU Nomor 1 Tahun 2011. Tapi tanpa kontrol awal yang kuat, sulit dilakukan penindakan,” ungkapnya.
Pansus RTRW kemudian berharap revisi Perda RTRW 2025–2044 yang targetnya rampung pada 10 Juni mendatang dapat memperkuat pengawasan dan kejelasan zonasi lahan. (*)