HEADLINE NEWSHukrimLiputan KhususPendidikan

LIPSUS – Teror Predator Seksual di Kampus

Relasi kuasa jadi modus yang melatari sederet kasus pelecehan seksual di lingkungan kampus. Bak dukun cabul, oknum dosen memperdaya korban dengan iming-iming kelancaran konsultasi skripsi atau tugas kuliah. Padahal, seharusnya kampus jadi tempat aman untuk semua kalangan, bukan jadi sarang predator yang menciderai dunia pendidikan tinggi.

——————————-

Waktu menunjukkan pukul 21.00 Wita. Handphone W bergetar. Ia mendapat pesan WhatsApp dari dosennya inisial AW karena belum mengumpulkan tugas statistik. Padahal sebelumnya W telah menyerahkan pekerjaannya melalui email.

“Saya sudah kirim via online. Tapi, katanya belum masuk ke akunnya (AW),” kata W kepada NTBSatu. Akhirnya, korban yang saat itu merupakan mahasiswi Prodi Sosiologi Universitas Mataram (Unram) tersebut tak mendapatkan nilai.

Sebelumnya, korban kerap mendapat pesan WhatsApp berbau rayuan. Misalnya, “Lagi apa sayang?”, “Sayang, mana tugasnya?”. W mulanya tak berfikiran negatif. Namun ia semakin khawatir setelah AW tiba-tiba mengaku memberi keringanan kepadanya yang saat itu duduk di bangku semester empat.

Keesokan harinya, dosen mempersilakan mahasiswinya menyerahkan tugas secara langsung. Tapi bukannya dikumpulkan ke kampus, dosen yang juga mengajar di Fakultas Pertanian Unram itu justru menyuruh W membawa tugas ke rumahnya.

W merasa takut. Karena selain mengkhawatirkan kondisinya, dia juga takut hal itu menjadi fitnah. Kendati demikian, AW tetap ngotot menyuruhnya datang. “Harus di sini (rumah). Pokoknya saya tunggu,” kata alumni ini mengikuti ucapan sang dosen.

“Kalau kamu nggak datang, berarti nilainya kosong ini,” sambung AW kepada mahasiswinya.

Cerita serupa juga datang dari M, alumni Fhisip Unram. Suatu hari, setelah kelas selesai saat menjadi mahasiswa ia pernah diikuti hingga ke kamar mandi. Dosen itu mendekatinya dan meminta digandeng, alasannya karena ia tak mampu berjalan sendirian.

“Tapi ujung-ujungnya, dia minta kontak saya,” ucapnya.

W juga mengetahui kejadian tersebut. Rupanya, perilaku AW bukanlah rahasia umum. Nyaris setiap tahun, selalu ada mahasiwi yang bercerita bagaimana sikapnya. Mahasiswi yang pernah menjadi murid AW pun kerap mengingatkan adik tingkatnya agar mewaspadai oknum dosen tersebut.

“Jadi, sebelumnya memang saya sudah dapat cerita. Tapi saya ga nyangka, kalau memang benaran,” aku W.

Terbongkarnya tindakan oknum dosen

Sepandai-pandaianya tupai melompat, pasti akan terjatuh juga. Begitu juga dengan tindakan AW. Perilakunya terungkap setelah Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) Unram menerima laporan dari BEM Pertanian. Sejumlah mahasiswi yang merasa menjadi korban membongkar aktivitas AW.

Oknum dosen Fakultas Pertanian itu melakukan pelecehan saat situasi sepi. Modusnya, AW yang menjadi dosen pembimbing skripsi korban, menerima layanan konsultasi di ruangannya. Ia melakukan hal yang tidak senonoh, seperti menyentuh beberapa anggota tubuh korban.

“Dosen itu melakukan kekerasan dalam bentuk memegang, mencium, dan ada juga secara verbal,” ungkap Ketua Satgas PPKS Unram, Joko Jumadi kepada NTBSatu, Sabtu, 21 September 2024.

Tak hanya kepada mahasiswinya, ia juga melakukan tindakan tak senonoh itu kepada rekannya sesama dosen. Dan ia beraksi kepada rekannya sesama dosen seperti yang ia lakukan kepada mahasiswinya.

“Sama, ada verbal dan sentuhan,” kata Joko.

Setelah melihat kondisi dan jumlah korban serta durasi tindakan yang cukup lama, Satgas PPKS merekomendasikan dosen tersebut diberhentikan sebagai tenaga pendidik. Beberapa waktu lalu, sambung Joko, pejabat Rektorat Unram menyampaikan telah mengajukan pemberhentiannya ke dikti.

Kampus mesti lebih sigap

Maraknya kasus pelecehan seksual di perguruan tinggi mendapat sorotan dari berbagai pihak. Salah satunya dari Kadis Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (P3AP2KB) NTB, Nunung Triningsih.

“Pelecehan seksual di kampus merupakan kejahatan yang harus diberantas,” tegasnya.
Menurutnya, perguruan tinggi seyogyanya harus memberikan rasa aman dan nyaman bagi seluruh warga universitas. Begitu juga bagi masyarakat yang berinteraksi dengan warga kampus.

Ketua PC KMHDI Mataram, I Putu Eka Widiantara. Menurutnya, kasus sensitif ini wajib mendapatkan penanganan yang sigap. Karena keamanan perempuan harus di atas dari segalanya.

Lebih-lebih perempuan bagian dari item penting untuk dalam kehidupan masa depan. Karena mereka merupakan calon ibu yang melahirkan generasi penerus bangsa. Jika terus menerus mengerdilkan posisi perempuan, sehingga menjadi alasan terus munculnya pelecehan.

“Maka hal ini harus dengan cepat ditindaklanjuti,” ujarnya, Sabtu, 21 September 2024.

Virgi melanjutkan, pelecehan bukan hanya secara seksual yang harus di antisipasi, tetap juga pelecehan yang lain. Sebagai seorang pemimpin organisasi kepemudaan Hindu, posisi perempuan ketika didaulat mengemban tugas sebagai ketua, tidaklah mudah.

“Perempuan dianggap sebagai pelengkap dan sering mendapat bercandaan yang justru menjurus pada pelecehan verbal,” ungkapnya.

Karenanya, penanganan terkait permasalahan pelecehan seksual, ia mendorong Satgas lebih banyak melakukan edukasi dan mengawal setiap kejadian hingga tuntas. Permasalahannya lain adalah banyak yang tidak mau melapor atas apa yang mereka alami. Alasannya, selain respons satgas yang kurang baik, respon lingkungan sekitar juga kurang mendukung.

“Masalah ini harus dapat dukungan oleh semua pihak, terlebih masalah perempuan bukan hanya perempuan yang harus berbicara,” tegasnya.

Kasus juga terjadi di Ummat

Fenomena pelecehan seksual di menara gading yang ada di NTB tak hanya terjadi di Unram. Tapi juga di perguruan tinggi lainnya, seperti Universitas Muhammadiyah Mataram (Ummat).

Meski baru lahir pada 28 Desember 2023 lalu atau umurnya kurang dari tiga tahun, Satgas PPKS Ummat telah menangani tiga kasus dan seluruhnya tuntas terselesaikan.

Ketua Satgas PPKS Ummat, Dr. Siti Sanisah, mengatakan sudah menangani tiga kasus dan seluruhnya tuntas terselesaikan. Kendati tindakan dugaan pelecehan seksual terjadi di luar lingkungan kampus, namun pihaknya menangani sesuai prosedur.

“Kami memang berkomitmen untuk membuat Kampus Muhammadiyah menjadi daerah yang hijau dari perilaku semacam itu. Sehingga kami lebih fokus bekerja. Memang penanganan masalah seperti ini agak sensitif untuk digembar-gemborkan. Kecuali untuk hal-hal yang bersifat pencegahan seperti sosialisasi atau edukasi dan kerja positif lainnya,” jelas Sanisah.

Selain itu, beberapa Satgas PPKS Ummat memberikan edukasi ke sekolah-sekolah. Mulai dari SMP hingga SMA. Bahkan, mereka menerima undangan khusus dari Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) Kemendikbud yang bekerjasama dengan Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (Puskapa) Universitas Indonesia.

Tren pelecehan seksual di Unram melandai

Kendati kasus pelecehan seksual di Unram kerap muncul ke permukaan, namun Joko Jumadi mengatakan, jumlah kasus pelecehan seksual di Unram dari tahun 2023 sampai sekarang baru mencapai 10 kasus.

Yang mendominasi adalah kasus cat calling, mengirim stiker yang tidak senonoh, pelecehan verbal lainnya, atau bahkan pada perilaku meraba dan memegang. Artinya tren kasus di salah satu kampus negeri ini melandai.

“Karena jumlahnya kecil dalam dua tahun terakhir, jadi penurunan tidak terlalu signifikan. Tidak seperti di kampus lain di luar NTB. Kisarannya sampai empat lima kasus. Dari 2022, 2023, 2024 terhitung melandai,” akunya.

Joko menjelaskan, ada sejumlah faktor kenapa pelecehan seksual di kampus kerap terjadi. Salah satunya adalah relasi kuasa, baik dosen dengan mahasiswa, pegawai dengan mahasiswa, atau mahasiswa dengan pacar.

“Relasi kuasa masih cukup kuat yang melatarbelakanginya, karena di situ kesempatan terbuka,” ujar Joko.

Kemudian kedua, pemahaman soal kekerasan seksual belum merata di lingkungan kampus. Terutama masalah sanksi. Tak sedikit yang bilang, jika pemberian sanksi yang berat seperti pemberhentian kepada pelaku pelecahan seksual menyatakan terlalu berat. Bahkan, seringkali disebut dibesar-besarkan.

“Kaya cat calling mereka anggap hal yang biasa, sehingga yang melapor dianggap lebay. Itu menurutnya, dari pemahaman yang belum merata menjadi PR selanjutnya,” jelas Joko.

Ketua LPA Kota Mataram ini menyebut, kasus pelecehan seksual di Unram terbilang sedikit jika kampus-kampus di Jawa. Karenanya, belum bisa masuk pada fase darurat. “Kalau kita darurat, terlalu besar karena angkanya masih sangat kecil,” bebernya.

Kendati demikian, lanjut Joko, kasus seperti ini tetap menjadi warning. Artinya, bukan pada persoalan sedikit atau banyaknya kasus. Tapi, mengantisipasi kejadian yang sama tidak terulang kembali.

“Kita tidak boleh berdiam diri dan santai saja. Kita malah khawatir, kalau mereka tidak berani speak up,” terangnya.

Para korban diharapkan berani bersuara. Sebab, semakin banyak yang melapor maka akan semakin meyakinkan bahwa korban berani berbicara. Apalagi, dalam waktu dekat akan terjadi pergantian Satgas PPKS Unram.

Karenanya, kembali Joko tegaskan, Satgas bisa lebih fokus di aspek pencegahan. Para korban pun mesti berani bersuara. Sehingga kasus-kasus serupa tidak terjadi lagi.

Upaya mencegah kasus pelecehan seksual di kampus

Setiap kasus pasti memiliki langkah-langkah preventif agar tidak terjadi. Termasuk pada kasus kekerasan seksual. Salah satunya yang Satgas PPKS Unram lakukan adalah, dosen mengubah konsep ruangan agar lebih terbuka. Atau dua dosen mengisi satu ruangannya.

Karena dengan begitu, orang di luar ruangan bisa memantau aktivitas di dalam ruangan dosen. Langkah lain yakni dengan memasang kamera CCTV di berbagai tempat sudah. Harapannya tidak ada lagi celah tempat terjadi kekerasan seksual.

“Karena terpantau CCTV,” kata Joko.

Selain itu, sambung dosen Fakultas Hukum Unram ini, pelaku pelecehan seksual juga harus mendapat hukuman tegas. Salah satunya merekomendasikan pemberhentian atau pemecetan terhadap oknum dosen. Dan itu sudah pihaknya lakukan.

“Artinya, memang kita serius untuk menangani kekerasan seksual untuk mewujudkan Unram zero toleran terhadap kekerasan seksual,” tegasnya.

Sementara, Nunung Triningsih mengaku, Dinas P3AP2KB NTB melakukan edukasi di beberapa kampus terkait pencegahan kekerasan terhadap perempuan. Termasuk kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO).

Kemudian, memberikan pendampingan terhadap mahasiswa atau warga perguruan tinggi yang menjadi korban pelecehan seksual. “Kampus mengoptimalisasi peran dan fungsi Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di lingkungan kampus. Suapaya korban berani speak up,” tutupnya. (*)

Editor & Korlip: Haris Al Kindi

Tim Liputan:

  • Zhafran Zhibral
  • Sita Saraswati
  • Zulhaq Armansyah
  • Muhammad Yamin

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button