Aktivis Lingkungan Chanee Kalaweit Ngaku Dapat Tekanan Sembilan Tahun dari Kemenhut
Mataram (NTBSatu) – Aktivis lingkungan sekaligus Pendiri Yayasan Kalaweit, Chanee Kalaweit mengaku, mendapat tekanan selama sembilan tahun terakhir dari Kementerian Kehutanan (Kemenhut) RI.
Dalam video unggahan TikTok pribadinya @chaneekalaweit, Chanee menjelaskan, banyak persoalan lingkungan yang kini menyita perhatian publik dan mendesak solusi nyata.
Setelah 27 tahun berkiprah bersama Yayasan Kalaweit, Chanee menjelaskan, organisasinya pernah bermitra dengan Kemenhut dan mendapat dukungan luas dari masyarakat. Namun, selama sembilan tahun terakhir, Kalaweit justru mengalami pengabaian serius dari pemerintah.
“Jangankan hanya dicuekin, selama 9 tahun terakhir di masa jabatan menteri yang sebelumnya, 9 tahun kami tidak hanya dicuekin, kami ditekan,” ungkapnya.
Ia menyebutkan, izin operasional organisasi sering kali tidak pemerintah perbarui. Kalaweit juga ikut dibatasi dalam menyuarakan isu konservasi lewat media sosial, terutama saat mengkritik praktik penghancuran habitat dan kerusakan hutan.
“Perizinan kami tidak diperpanjang. Bahkan, kami dibatasi atau kami dilarang post (unggah, red) di media sosial hal-hal yang tidak disukai oleh kementerian tentang konservasi. Gawat ya,” tambahnya.
Menurutnya, keputusan merusak lingkungan akan berujung pada bencana ekologis dan penderitaan sosial fenomena yang sudah terlihat pada warga terdampak di Sumatra. Ia menyatakan, upaya konservasi harus menjadi pondasi kestabilan dan keselamatan hidup manusia.
Dialog Baru, tapi Tantangan Masih Menanti
Situasi mulai berubah sejak satu tahun terakhir, menandai munculnya ruang dialog baru antara Kemenhut dan NGO konservasi seperti Kalaweit.
Chanee menceritakan, Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni baru saja datang langsung ke lokasi. Ia mengajak sang menteri meninjau kondisi alam lewat pesawat ringan. Melihat lubang bekas tambang batubara tanpa reklamasi dan hamparan sawit yang tumbuh di kawasan hutan lindung.
“Pak Menteri Kehutanan datang ke sini. Saya ajak beliau terbang untuk melihat dari atas lubang batubara yang tidak direklamasi di mana-mana, sawit yang tumbuh di kawasan hutan,” jelasnya.
Menurutnya, kunjungan itu membuka jalur komunikasi empat mata yang jujur mengenai kondisi riil di lapangan serta kebutuhan nyata untuk strategi konservasi.
“Baru kali ini secara buka-bukaan. Empat mata, bicara jujur situasi di lapangan dengan seorang Menteri Kehutanan untuk bahas bagaimana ke depannya tambahnya,” tambahnya.
Kalaweit menilai, momen itu sebagai peluang untuk membawa masukan konkret ke meja kebijakan, bukan sekadar kritik kosong.
Chanee menekankan peran NGO semestinya bukan hanya menyuarakan masalah, melainkan aktif menawarkan solusi. Termasuk rekomendasi penegakan hukum terhadap aktivitas ilegal, serta kebijakan tegas dari pemerintah pusat untuk melindungi hutan.
Ia meyakini, pelestarian alam memerlukan kerja keras jangka panjang, tidak cukup hanya dalam hitungan bulan atau tahun.
Menutup pernyataannya, Chanee menyerukan agar masyarakat, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan bersama-sama menjaga sisa hutan dan alam Indonesia demi generasi mendatang. (*)



