Refleksi Satu Tahun ULD BPBD NTB
Hari Disabilitas Internasional (HDI) tanggal 3 Desember menjadi momen istimewa bagi Unit Layanan Disabilitas (ULD) BPBD Provinsi NTB. Pada tahun ini tepat satu tahun berdirinya organisasi yang diinisiasi Organisasi Penyandang Disabilitas (OPDis) di NTB yang fokus pada isu kebencanaan. Selama setahun ini, mereka bergerak untuk mengadvokasi isu kebencanaan yang inklusif.
Lalu Ahmad Fatoni masih ingat pengalaman Desember 2024. Pada tanggal 3 Desember tahun itu, dia baru saja dikukuhkan sebagai pengurus ULD BPBD NTB. Saat acara itu, dia bertindak sebagai Master Ceremony (MC). Tak lama setelah acara selesai, Bajang Tony – sapaan akrabnya langsung berangkat ke Sragen, Jawa Tengah mengikuti Apel Siaga Bencana dan Jambore Relawan Disabilitas Penanggulangan Bencana. Dia berkumpul dengan relawan dari berbagai tanah air. Di sana mereka berbagi cerita pengalaman penanggulangan bencana di daerah masing-masing. Termasuk juga berbagi kisah yang dialami penyandang disabilitas saat terjadi bencana.
“Sehari setelah di-launching langsung berkegiatan, itu pengalaman pertama kami mengikuti kegiatan sebagai ULD,’’ kata ketua Yayasan Tulus Angen Indonesia (YTAI) ini.
Kegiatan itu menjadi pintu pembuka perkenalan ULD BPBD Provinsi NTB keluar daerah. Diundang ke forum tingkat nasional menjadi penyemangat para pengurus untuk berbuat lebih baik di NTB. Apalagi semangat pendirian ULD BPBD NTB ini merespons berbagai persoalan di penanggulangan bencana. Baik itu prabencana, saat terjadi bencana, hingga setelah terjadi bencana.
Penyandang disabilitas seperti tidak terlihat, penyandang disabilitas seperti diabaikan ketika penanganan darurat, apalagi setelah bencana mereka tidak dilibatkan. Salah satu misi ULD adalah mengadvokasi kebijakan agar penanggulangan bencana di NTB lebih adil dan inklusif.
“Kami tidak ingin dikasihani, tapi kami ingin diperlakukan secara adil. Jadi melalui ULD inilah kami menyuarakan,’’ katanya.
Pada saat NTB menjadi tuan rumah Hari Kesiapsiagaan Bencana Nasional (HKBN) pada April 2025, ULD mengambil peran penting. Mereka terlibat dalam kepanitiaan. Mereka juga menggelar satu forum khusus untuk menyuarakan suara para penyandang disabilitas. Perwakilan OPDis dari berbagai daerah hadir. Kepala BNPB RI dan Gubernur NTB hadir dalam kesempatan itu. Mereka menyampaikan langsung apa yang menjadi aspirasi.
Di forum HKBN itu, menjadi panggung bagi ULD untuk mengenalkan diri ke publik. Khususnya bagi para pemangku kepentingan di NTB. Tiga pengurus ULD, Fitri Nugrahaningrum, Sri Sukarni, Andri menjadi pembicara dalam kegiatan itu. Di hadapan peserta yang hadir, mereka menyampaikan harapan agar kebijakan pemerintah tidak melupakan para penyandang disabilitas.
Dengan dukungan Program SIAP SIAGA – kemitraan antara pemerintah Australia dan Indonesia untuk pengelolaan risiko bencana – para pengurus ULD terlibat dalam berbagai kegiatan di NTB, seperti kegiatan-kegiatan musyawarah di tingkat kabupaten dan provinsi. Mereka menyuarakan aspirasi agar dalam seluruh proses pembangunan tidak melupakan para penyandang disabilitas.
“Setelah kami hadir dalam berbagai kegiatan itu, setidaknya para pengambil kebijakan tidak lagi melupakan kami para penyandang disabilitas,’’ kata Ketua ULD BPBD NTB, Khalid.
Keterlibatan dalam forum seperti itu merupakan salah satu bentuk advokasi kebijakan. ULD ingin memastikan mulai dari tahap perencanaan memerhatikan kebutuhan para penyandang disabilitas.
Khalid mencontohan, jika pada saat prabencana atau tidak ada kejadian bencana, edukasi dan sosialisasi kebencanaan perlu melihat ragam disabilitas. Media yang disusun harus bisa diakses oleh semua orang.
Dalam perencanaan, ULD juga mengawal agar dalam rencana penanggulangan bencana pada fase tanggap darurat dan pascabencana memerhatikan kebutuhan para penyandang disabilitas.
Di internal ULD sendiri, mereka aktif mendorong agar regulasi-regulasi yang ada berpihak pada penyandang disabilitas. Pada saat ini, ULD telah menyusun panduan pengarusutamaan GEDSI dalam penanggulangan bencana yang inklusif. Selain itu, ULD juga telah menyusun policy paper pemanfaatan data terpilah dalam penanggulangan bencana yang inklusif.
“Policy paper ini berangkat dari pengalaman saat kami mendukung BPBD Provinsi NTB untuk mengelola data terpilah penyandang disabilitas yang diambil dari Registrasi Sosial Ekonomi (REGSOSEK), ternyata banyak yang menjadi temuan yang dapat diperbaiki ke depan,’’ kata Khalid.
Pada prinsipnya, pengelolaan data terpilah dilakukan atas dasar urgensi pemanfaatannya di seluruh fase penanggulangan bencana, mulai dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan.
Dalam fase pra bencana, data terpilah dapat digunakan sebagai data dasar/baseline untuk memperkirakan jumlah penyandang disabilitas yang bermukim di wilayah rawan bencana sehingga dapat mengetahui kebutuhan penyebarluasan informasi kebencanaan yang aksesibel, dan dapat mengetahui lokasi-lokasi prioritas penyelematan jika terjadi bencana.
Dalam fase saat bencana atau tanggap darurat, Khalid mencontohkan, beberapa waktu lalu ketika terjadi bencana banjir ada aspirasi dari penyandang disabilitas yang menjadi korban dan tidak mendapatkan bantuan.
“Karena ketika ada bantuan sifatnya umum, jadi teman disabilitas seperti tidak tersentuh. Itu dimulai karena ketiadaan data terpilah yang dapat diandalkan,’’ kata Khalid.
Berangkat dari Pengalaman Bencana
Sri Sukarni ingat ketika bencana gempa Lombok 2018. Dia dihubungi oleh sahabatnya penyandang disabilitas. Ada yang kursi rodanya rusak, ada yang kesulitan mendapatkan akses bantuan. Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) NTB ini, bersama relawan lainnya bergerak membantu. Dari pengalaman bencana gempa Lombok 2018 itulah, Sri semangat ketika diajak dalam proses awal pendirian ULD.
Saat itu para perwakilan OPDis dan stakeholder terkait bertemu dan berdiskusi. Pertemuan itu difasilitasi Program SIAP SIAGA. Dalam beberapa kali pertemuan, mereka mendiskusikan isu-isu, masalah-masalah terkait penanggulangan bencana yang inklusif. Dari proses itu para perwakilan OPDis terlibat dalam proses mengkaji regulasi-regulasi terkait dengan penyandang disabilitas khususnya terkait kebencanaan.
“Dari hasil kajian dokumen dan aturan-aturan itulah kami melihat ada gap, sehingga berangkat dari gap masalah itulah kami kemudian berembuk berkali-kali sehingga tercetuslah untuk membentuk ULD BPBD Provinsi NTB ini,’’ kata Sri.
Setelah dibentuk pada tanggal 3 Desember 2024, ULD terus mendorong agar kebijakan penanggulangan bencana yang inklusif. Pengalaman di ULD ini juga dibawa masing-masing OPDis untuk menyuarakan hal yang sama di sektor lainnya.
“Baru-baru ini kami di KLU juga sudah terbentuk ULD. Kami harapkan di kabupaten lainnya juga nanti ada ULD,’’ katanya.
Selain aktif mendorong isu kebencanaan, internal ULD juga aktif dalam kegiatan-kegiatan peningkatan kapasitas. Mereka menyelenggarakan pelatihan fasilitator, yang nantinya bisa diterapkan seluruh pengurus dan anggota ULD di organisasi masing-masing. Peningkatan kapasitas ini strategis mengingat selama ini lebih sering menjadi peserta. Setelah pelatihan, anggota ULD percaya diri memfasilitasi berbagai kegiatan. (*)



