HEADLINE NEWS

Kejutan Mutasi Gubernur Iqbal: Menolak Nepotisme, Menggugurkan Objektivitas

Kejutan pada pelantikan pejabat Eselon II Pemprov NTB, Rabu 17 September 2025, dipicu “batalnya” pelantikan Baiq Nelly Kusumawati, kakak Kandung Gubernur NTB. Apresiasi selangit, karena Lalu Muhammad Iqbal menolak tunduk pada nepotisme. Pandangan lain, Iqbal “berkorban” dengan menggugurkan nilai nilai proses seleksi yang objektif. Apa pesan politik di baliknya?

——————————————

Pagi sekitar pukul 07.10 Wita, kabar pelantikan pejabat eselon II hasil seleksi terbuka pada Agustus 2025 lalu mencuat. Surat undangan pelantikan beredar. Tidak lagi seperti kabar burung, tetapi informasi pasti dari internal pemerintahan.

Lama ditunggu, hingga akhirnya ada kepastian. Pelantikan dilaksanakan hari ini, Rabu, 17 September 2025 pukul 10.00 Wita. Mundur enam hari dari waktu yang ditentukan, yaitu 11 September 2025. Alasannya klasik, menunggu keputusan Badan Kepegawaian Negara (BKN). Padahal, sejumlah nama sudah tersimpan rapi di kantong Gubernur NTB, Lalu Muhamad Iqbal.

Tidak menjadi masalah di benak para pejabat. Mungkin saja gubernur menunggu waktu yang tepat melantik mereka yang terpilih. Terlebih kata Gubernur, banyak pertimbangan sebelum memutuskan satu nama menduduki jabatan eselon II ini.

Tiba waktunya pukul 10.00 Wita, beberapa pejabat mulai berdatangan di lokasi pelantikan, Pendopo Gubernur NTB. Terlihat ada pejabat eselon II dan III. Baik yang dilantik, maupun yang hanya sekadar memenuhi undangan. Mereka kompak mengenakan setelan formal. Celana panjang dilengkapi jas dan kopiah bagi yang laki-laki. Dan kebaya bagi yang perempuan.

Menjadi sorotan, kedatangan kakak kandung Gubernur Lalu Iqbal, Baiq Nelly Kusumawati. Tampil sederhana, hanya mengenakan seragam korpri dengan rok penjang berwarna hitam. Tidak seperti tamu undangan lainnya yang lengkap dengan kebaya.

Baiq Nelly merupakan Inspektur Inspektorat Kota Mataram. Pada seleksi terbuka pejabat eselon II Pemprov NTB Agustus lalu ia mendaftar pada posisi Inspektur Inspektorat Provinsi NTB. Hingga akhirnya terpilih masuk tiga besar bersama dua pesaing lainnya, Budi Herman dan M. Zuhdy Kadran.

Nelly disebut-sebut menjadi salah satu kandidat kuat. Secara objektif, pengalamannya pada bidang tersebut menempatkannya pada rangking tertinggi. Tapi ada juga pandangan subjektif, peluangnya terbuka lebar, karena adik kandungnya sedang menjabat Gubernur NTB. Memiliki hak penuh dalam menentukan kandidat terpilih.

Prosesi pelantikan berlangsung kurang lebih satu jam. Berakhir pada pukul 11.50 Wita. Namun di luar prediksi, dalam daftar nama-nama pejabat yang dilantik, tidak ada nama Baiq Nelly. Posisi Inspektur Inspektorat NTB diduduki Budi Herman. Sebelumnya menjabat sebagai Asisten Perdata dan Tata Usaha Negara pada Kejaksaan Tinggi Bengkulu.

IKLAN

Menjadi tanda tanya, pasalnya Baiq Nelly meraih nilai tertinggi hasil seleksi terbuka. Mengalahkan dua pesaing lainnya. Namun anehnya, ia justru terpental. Mengharuskan ia mengubur dalam-dalam keinginannya menjadi bagian dari pengawas internal pemerintahan provinsi.

Gubernur NTB, Lalu Muhamad Iqbal angkat bicara. Katanya, ada banyak pertimbangan tidak memilih kakaknya menduduki jabatan Inspektur Inspektorat NTB. Apa saja alasannya? Iqbal tidak merinci. Namun ia memastikan, kakaknya Baiq Nelly memahami keputusannya terebut.

“Banyak pertimbangan yang saya berikan, makanya saya memutuskan memilih Pak Budi. Dan saya yakin, kakak saya sudah paham pertimbangan saya dan beliau sudah cukup senang mengikuti proses seleksi yang objektif,” jelasnya.

Mantan Duta Besar Indonesia untuk Turki ini memastikan, proses seleksi jabatan akan terus mengedepankan sistem merit. Saat ini, masih banyak kursi kepala OPD yang kosong, sehingga proses seleksi berikutnya segera dibuka.

“Banyak yang kosong makanya akan ada Pansel selanjutnya. Memang kita batasi enam saja yang seleksi terbuka kemarin, supaya pansel tidak terlalu padat,” jelasnya.

Tamparan Beragam Spekulasi

Pengamat menyebut Gubernur Iqbal sudah membuat langkah yang mengejutkan. Menampar spekulasi bahwa Lalu Iqbal akan tersandera kepentingan keluarga daripada menjaga integritas visi meritokrasi.

Direktur NasPol NTB Ardiansyah dalam tulisannya, langkah Gubernur tak memilih kakaknya Baiq Nelly, membuat publik berdesis penuh tanda tanya. “Mengapa kakak kandung sendiri dibiarkan bertarung, tapi tidak diberi kursi kehormatan? Keputusan ini seakan menampar spekulasi, bahwa darah dan politik sering lebih kental daripada tinta integritas,” kata Ardiansyah dalam tulisannya yang diizinkan dikutip NTBSatu.

Di mata Ardiansyah, pilihan Gubernur Iqbal bukan tanpa alasan. Posisi inspektorat bukan sekadar kursi birokrasi. Ia adalah benteng terakhir pengawasan keuangan daerah, ruang yang menentukan sehat atau bobroknya APBD.

Sementara, dari sudut pandang kompetensi, nama Baiq Nelly lebih terang. Ia lulusan akuntansi, bergelar magister, bahkan memiliki sertifikasi fraud examination. Sementara kandidat dengan latar belakang hukum, betapapun mentereng gelar SH atau MH-nya, tetap terasa jauh dari kebutuhan teknis akuntabilitas keuangan.

Bagi pengamat yang karib disapa Sangaji ini, inilah warna politik selalu punya jalannya sendiri. Andai Baiq Nelly yang dipilih, kapasitasnya bisa dipelintir menjadi aroma politik, tudingan kedekatan, isu kelompok, atau kepentingan tertentu.

“Andai sang kakak yang dipilih, label nepotisme bisa lebih berisik lagi, jadi santapan empuk di meja publik. Maka langkah Iqbal memilih nama ketiga menjadi semacam shock therapy, ia menghindari jebakan gurihnya nepotisme, sekaligus menutup ruang bagi tudingan bahwa jabatan hanya permainan keluarga,” terangnya.

Langgar Etika Transparansi

Pengamat lainnya punya pandangan berbeda. Sikap Gubernur Iqbal dinilai mencedari etika transparansi dalam seleksi ini. Iqbal memang terlihat tunduk menolak nepotisme dan menegakkan prinsip meritokrasi sesuai visinya. Namun justru mengabaikan sistem penjaringan yang objektif.

“Dia menggugurkan sebagian dari objektifitas dari proses meritokrasi. Dua hal itu secara etik sudah dilanggar,” kata Pengamat sekaligus Akademisi dari Universitas 45 Mataram, Dr. Alfisahrin, Rabu, 17 September 2025.

Manifestasi dari meritokrasi, ujar Alfin, adalah seleksi terbuka untuk menjaring betul-betul pejabat yang memiliki kompeten, memiliki prestasi, dan intergritas.

“Tiga hal ini setelah dilakukan seleksi terbuka itu mencerminkan bahwa penegakan dari sistem meritokrasi,” ujarnya.

Keberhasilan kakak kandung Gubernur Iqbal, Baiq Nelly, memperoleh nilai tertinggi dalam seleksi terbuka, sebenarnya patut diapresiasi, karena memang, sistemnya seleksi terbuka. Mengedepankan transparansi dan objektivitas.

Namun jika pilihan gubernur tidak meloloskan kakak kandungnya hanya karena takut dinilai nepotisme, hal itu justru keliru.

“Buat apa diseleksi kalau kemudian dianulir kembali?. Jadi biarkan saja kakak kandungnya ini lolos karena memang dilakukan uji publik dan seleksi yang sifatnya terbuka. Dan itu lah kemudian yang disebutkan sebagi inti kunci dari meritokrasi,” jelasnya.

Dengan keputusan ini, lanjut Alfin, justru menimbulkan pertanyaan tentang transparansi dan objektivitas dalam seleksi tersebut. Memang keliru, jika Gubernur asal tunjuk, atau asal mengakomodasi tanpa ada kompetensi yang diuji secara terbuka.

“Tapi kalau diuji terbuka dan sesleksi terbuka dan memeang benar-benar objektif dan dia (Baiq Nelly) meraih suara tertinggi?, itu tidak ada soal. Karena sudah ada transparansi yang dilakukan,” katanya.

“Jadi aneh dia membatalkan kembali orang yang terpilih dengan nilai yang tertinggi lalu kemudian karena kedekatan dan keakraban dianulir. Lalu dipilih oleh orang lain. Ini menganulir sendiri sistem meritokrasi,” tambahnya.

Lantas jika alasan gubernur tidak memilih kakak kandungnya karena ketakutannya terhadap opini publik yang berlebihan, menurut Alfin, logika birokrasi jauh lebih penting dari sekadar opini publik, sepanjang prosedurnya itu dipatuhi, regulasinya tidak bertentangan dan keputusan yang diambil, serta benar-benar telah memenuhi syarat.

“Karena logika publik itu bisa dianulir oleh objektifitas yang menjadi keputusan birokrasi. Ya tidak bisa kalau hanya menakutkan opini publik sepanjang keputusan yang diambil itu tidak melanggar aturan,” ungkapnya.

Hak Prerogatifnya Gubernur

Sebagai partai pendukung, Gerindra berdiri bersama keputusan apapun yang dilahirkan Gubernur dalam mutasi. Anggota Komisi I DPRD NTB, Ali Usman Ahim menyampaikan, mutasi adalah hak prerogatif gubernur. Dia berhak memilih siapa saja yang akan membantunya dalam melaksanakan visi misi.

“Siapa pun dipilih oleh gubernur tentu ada prasyarat yang harus dilalui. Salah satunya terkait hasil asesmen. Kalaupun misalkan ada salah seorang yang memiliki nilai tes tertinggi, kemudian tidak diangkat oleh Gubernur, tentu itu sudah berdasarkan pertimbangan Gubernur sendiri,” katanya.

Dalam kasus Gubernur tidak meloloskan kakak kandungnya, kata Ali, tentu Iqbal sudah mempertimbangkan matang-matang. Artinya, tidak asal memutuskan.

“Tetapi pada prinsipnya kami di Komisi I itu memberikan dukungan kepada Gubernur terkait ikhtiarnya untuk mengonsolidasikan organisasi ini. Agar benar-benar siap menjadi instrumen yang bekerja mengawal visi-misi gubernur. Mendorong NTB Makmur Mendunia,” ungkapnya mengutip slogan Iqbal – Dinda.

Sebuah Plot Twist

Mantan Sekretaris Partai Gerindra ini mengaku tidak mempermasalahkan atas keputusan Gubernur tersebut. Ia meyakini, hal ini sudah dipertimbangkan dan dibicarakan dengan kakak kandungnya.

“Itu tentu sudah dibicarakan dan sudah dijelaskan mungkin oleh gubernur ke pihak-pihak lain, bukan saja Bu Nelly,” ujarnya.

Gubernur NTB, Lalu Muhamad Iqbal sebelumnya melantik 13 pejabat lingkup Pemprov NTB. Rinciannya, delapan pejabat eselon II dan lima eselon III. Prosesi pelantikan berlangsung di Pendopo Gubernur NTB dalam suasana khidmat, tapi melahirkan sebuah plot twist atau kejutan dalam sebuah cerita.

Dari 13 pejabat tersebut, satu dari enam yang merupakan hasil seleksi terbuka pada Agustus 2025 lalu, tak ada nama Baiq Nelly.

Kembali ke pandangan Ardiansyah NasPol NTB, langkah Iqbal ini kecil, tetapi sarat pesan. Baginya, Iqbal mengirim sinyal bahwa NTB sedang diuji bukan hanya pada tataran pembangunan fisik, melainkan juga pada komitmen moral para pemimpinnya.

Bahwa “keluarga” boleh masuk gelanggang, tetapi tidak otomatis menang. Bahwa jabatan publik bukan warisan, melainkan amanah. “Kejutan kecil itu bisa saja berumur pendek, tetapi meninggalkan jejak panjang tentang etika kepemimpinan,” pungkas Sangaji. (*)

Muhammad Yamin

Jurnalis NTBSatu

Berita Terkait

Back to top button