Kota Mataram

Ribuan Kosmetik Ilegal Masih Bayangi Konsumen NTB

Mataram (NTBSatu) – Maraknya peredaran kosmetik ilegal di Nusa Tenggara Barat (NTB) semakin mengkhawatirkan.

Produk kecantikan yang seharusnya mendukung kesehatan kulit justru banyak ditemukan mengandung bahan berbahaya seperti merkuri, hidrokinon, hingga asam retinoat.

“Sekarang kosmetik bukan lagi soal kecantikan semata, tapi sudah menjadi bagian dari gaya hidup. Tantangan seriusnya adalah produk ilegal yang beredar bebas tanpa izin edar resmi,” kata Ketua TP PKK NTB, Bunda Sinta M. Iqbal, Selasa, 26 Agustus 2025.

Ia menyoroti tren kosmetik pemutih kulit yang masih tinggi karena anggapan keliru bahwa cantik identik dengan kulit putih.

Kondisi ini, menurutnya, banyak oknum yang memanfaatkannya untuk menjual produk dengan promosi berlebihan, terutama lewat media sosial.

IKLAN

“Live Instagram dan TikTok sering menipu konsumen dengan filter kamera. Efek instan itu bukan kualitas produk, hanya trik teknologi,” terangnya.

Bunda Sinta juga mendorong pemanfaatan bahan baku lokal NTB seperti rumput laut, cokelat, kelor, hingga rempah-rempah sebagai alternatif industri kosmetik.

Ia meyakini, jika pengolahannya sesuai standar Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), produk lokal mampu menembus pasar nasional bahkan internasional.

Data BBPOM: 75 Persen Pelanggaran Didominasi Kosmetik Ilegal

Kepala Balai Besar POM (BBPOM) Mataram, Yosef, mengungkapkan hasil pengawasan menunjukkan kosmetik ilegal masih mendominasi 75 persen dari total pelanggaran obat dan makanan di NTB.

“Pada 2024, kami menemukan 3.378 pcs kosmetik ilegal senilai Rp170 juta. Sedangkan hingga Juli 2025 sudah tercatat 1.658 pcs dengan nilai Rp65 juta,” jelasnya.

IKLAN

Tak hanya itu, kasus yang diproses hukum juga meningkat, dari empat kasus di 2024 menjadi lima kasus hingga pertengahan 2025. Yosef menegaskan, masyarakat tidak bisa menganggap sepele bahaya kosmetik ilegal.

“Dampaknya bukan hanya merusak kulit, tapi juga organ vital, bahkan berisiko menimbulkan cacat pada janin. Pelaku usaha bisa terkena Pasal 435 jo Pasal 138 ayat (2) UU No. 17/2023 tentang Kesehatan dengan ancaman 12 tahun penjara atau denda maksimal Rp5 miliar,” tegasnya. (*)

Berita Terkait

Back to top button