Daerah NTB

PON NTB: Investasi Berisiko Tinggi dan Ancaman Integrasi Wilayah

Mataram (NTBSatu) – Penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) 2028 di NTB dan NTT hingga kini belum ada kepastian. Surat Keputusan (SK) resmi Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) menunjuk NTB dan NTT sebagai tuan rumah belum ada.

Ketua LSM Garuda Satu NTB, Abdul Hakim alias Bang Akim mengatakan, PON sebagai ajang olahraga bergengsi di Indonesia seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat kohesi sosial. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah, serta membangun infrastruktur olahraga berkelanjutan.

Namun, rencana penyelenggaraan PON di NTB menghadirkan berbagai persoalan mendasar yang tidak bisa diabaikan.

Ketimpangan Geoekonomi dan Geopolitik NTB

Menurut Bang Akim, NTB merupakan provinsi kepulauan yang terdiri dari dua pulau besar, yakni Lombok dan Sumbawa, dengan komposisi suku dominan Sasak, Samawa (Sumbawa), dan Mbojo (Bima/Dompu).

Ketimpangan pembangunan antara Lombok dan Sumbawa telah menjadi isu klasik sejak lama. Menurut data BPS NTB (2023), lebih dari 70 persen belanja pembangunan infrastruktur terkonsentrasi di Pulau Lombok, khususnya Kota Mataram sebagai ibu kota provinsi.

IKLAN

“Pelaksanaan PON yang akan fokus pada pembangunan venue utama di Pulau Lombok berpotensi semakin memperlebar ketimpangan ini,” katanya.

Wilayah Sumbawa yang secara historis merasa termarjinalkan akan semakin tersisih dalam arus investasi dan distribusi pembangunan.

“Ketimpangan tersebut berisiko memanaskan tensi geopolitik antar-etnis di NTB yang selama ini tampak tenang namun menyimpan ketegangan laten,” ungkap Bang Akim.

IKLAN

Ancaman Kohesi Sosial dan Kultural

Penempatan event berskala nasional seperti PON dalam struktur sosial yang belum stabil dapat memperburuk segregasi budaya.

Ketiga suku besar di NTB memiliki sejarah sosial-politik yang kompleks dan sering berkompetisi dalam representasi politik maupun alokasi anggaran daerah.

“PON, alih-alih menjadi pemersatu, justru dapat menjadi titik api baru konflik identitas, terutama jika distribusi manfaatnya dirasa tidak merata,” tuturnya.

Ia mengkhawatirkan, akan muncul resistensi sosial di wilayah Sumbawa jika PON muncul narasi “event Lombok-sentris.”

“Gejala seperti ini bisa memunculkan sentimen politik baru berupa tuntutan desentralisasi lebih dalam atau bahkan wacana pemekaran provinsi Sumbawa, seperti yang sedang muncul saat ini,” bebernya.

Analisis Investasi dan Dampak Ekonomi Negatif

Dari sisi ekonomi, ujar Bang Akim, penyelenggaraan PON NTB yang semula dirancang menelan biaya Rp6,1 triliun kini disederhanakan menjadi sekitar Rp1,7 triliun. Itu untuk pembangunan venue, dengan minimal Rp800 miliar dengan membebankan APBD Provinsi dan 10 kabupaten/kota.

Menurutnya, ini menjadi tekanan besar bagi fiskal daerah, di tengah kondisi ekonomi pasca-pandemi yang belum stabil.

Menilik data dari pelaksanaan PON di Aceh-Papua (2024), investasi mencapai Rp3,94 triliun, tetapi pertumbuhan ekonomi hanya meningkat 0,51 persen, dari 4,66 persen ke 5,17 persen (Bappenas, 2024).

Artinya, dampak makroekonominya sangat kecil dan tidak sebanding dengan modal yang dikeluarkan. NTB berpotensi mengalami hal serupa: investasi besar dengan pengembalian rendah (low return investment) dan tanpa kesinambungan manfaat ekonomi jangka panjang.

Risiko Venue Mangkrak dan Tata Kelola Lemah

Pembangunan fasilitas olahraga kerap kali berujung menjadi proyek mangkrak. Contoh nyata adalah venue PON di beberapa provinsi terdahulu seperti Riau dan Kalimantan Timur yang terbengkalai karena tidak ada perawatan pasca-event dan minimnya pemanfaatan komersial.

“Dengan sejarah pengelolaan infrastruktur yang belum optimal di NTB. Kekhawatiran terhadap venue usang dan tidak dimanfaatkan maksimal sangat beralasan. Ini akan menjadi beban anggaran baru bagi pemeliharaan, bukan aset produktif,” jelasnya.

Atas dasar itu, pelaksanaan PON di NTB merupakan keputusan berisiko tinggi yang cenderung menguntungkan elite lokal dan investor jangka pendek, namun merugikan masyarakat secara umum.

Karenanya ia menyarankan, pemerintah pusat dan daerah perlu meninjau ulang penunjukan NTB sebagai tuan rumah PON.

Kemudian, mengalihkan dana pembangunan venue untuk sektor prioritas: kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur dasar.

Selanjutnya, Bang Akim meminta tim kajian independen untuk mengevaluasi kelayakan dan dampak PON terhadap kohesi sosial dan integrasi wilayah NTB.

“Serta, libatkan komunitas lokal dan perwakilan antar-suku dalam pengambilan keputusan pembangunan agar tidak menimbulkan eksklusivitas wilayah,” pungkasnya. (*)

Berita Terkait

Back to top button