Mataram (NTBSatu) – Pengajuan interlepasi sengkarut DAK 2024 di DPRD NTB menunjukkan dinamika yang kurang seimbang. Antara jumlah Fraksi yang menolak dengan menerima cukup mencolok. Lima banding dua. Bagi peneliti dan pengamat politik, situasi ini hal biasa dalam dinamika parlemen.
“Kalau di DPRD memang selalu ada kepentingan. Antara menolak dan yang mengajukan,” kata Direktur Eksekutif Lembaga Prediksi Survei dan Statistik Indonesia (PRESiSI) NTB, Darwan Samurdja kepada NTBSatu, Jumat 25 April 2025.
Namun semangat interpelasi bagi Darwan, adalah fungsi pengawasan DPR dan DPRD terhadap kebijakan yang transparan, akuntabilitas pemerintah. Penggunaan hak interpelasi ketika ada kebijakan yang berdampak luas terhadap kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dalam konteks sengkarut pengelolaan DAK 2024, khususnya di Dinas Pendidikan, menurutnya kuat urgensinya bagi kepentingan publik.
“Fraksi yang menolak saya lihat narasinya juga politis dan menimbulkan tanda tanya publik. Ada apa di balik penolakan fraksi terhadap upaya mengungkap dugaan skandal pada DAK 2024?,” tanya Darwan.
Bahwa kecurigaan terkait beberapa anggota mengusulkan hak interpelasi membuat kegaduhan, menurutnya berlebihan.
Tugas DPRD dengan memaksimalkan pengawasan terhadap pengelolaan anggaran daerah, baik bersumber dari pusat mapun PAD adalah kewajiban DPRD.
Atas dugaan penyalahgunaan anggaran yang menyebabkan kebocoran uang negara, maka pengajuan hak interpelasi masuk akal. Terlebih, publik sendiri sudah melihat secara benderang masalahnya pada DAK Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Tahun NTB 2024.
Ada juga semangat dari 10 anggota Fraksi pengusul sebelumnya yang ingin memperluas Interlepasi. Tak hanya DAK pada Instansi pendidikan tersebut, tapi seluruh OPD penerima aliran DAK tahun 2024.
“Terhadap pengelolaan DAK, semangatnya adalah agar tidak terjadi lagi kebocoran anggaran, sehingga anggaran menjadi tepar sasaran dan sesuai peruntukkannya,” jelas alumni Kampus Ummat ini.
Namun demikian bagi sebagian anggota DPRD, mungkin punya pertimbangan lain dengan penilaian bahwa waktunya belum tepat mengakukan hak interpelasi. Karena ada kasus penyalahgunaan anggaran di Dinas Pendidikan NTB.
“Menurut saya pengajuan hak interpelasi DPRD sudah semangat relevan, karena bisa jadi penyalahgunaan anggaran yang bersumber dari DAK untuk program yang lain tidak hanya untuk pendidikan, khawatir terjadi kebocoran. Jadi hal ini layak dan relevan,” tegasnya.
Aturan Main di DPRD
Bagaimana aturan main dalam pengajuan hak Interpelasi?
Menurut UUD 1945 Pasal 20A ayat (2) Mengatur tentang hak interpelasi sebagai salah satu hak DPR untuk menjalankan fungsinya sebagai lembaga legislatif.
Pasal 79 ayat (1) UU MD3 mengatur lebih lanjut tentang hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat DPR.
Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Setiap DPRD memiliki peraturan sendiri tentang hak interpelasi.
Hak interpelasi sendiri adalah hak DPR atau DPRD untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Untuk mengajukan hak interpelasi, DPR atau DPRD harus memenuhi beberapa syarat, seperti
- Usulan dari minimal 25 orang anggota DPR/DPRD. Usulan harus sertai dengan dokumen yang memuat materi kebijakan dan/atau pelaksanaan kebijakan pemerintah yang bermasalah.
- Persetujuan rapat paripurna. Usulan harus tersetujui dalam rapat paripurna, yang hadir lebih dari 1/2 jumlah anggota DPR/DPRD dan keputusan dengan persetujuan lebih dari 1/2 jumlah anggota DPR/DPRD yang hadir.
Jika kembali lagi kepada aturan main di internal DPRD NTB, lanjut Darwan, Partai Koalisi Iqbal-Dinda jauh lebih besar. Tanpa mengenyampingkan semangat pengawasan yang objektif dan transparan Anggota DPRD, namun ujung- ujungnua kembali lagi pada aturan main di internal DPRD Provinsi.
baca juga : https://ntbsatu.com/2025/04/24/dukung-interpelasi-dak-demokrat-ppr-lawan-arus-di-dprd-ntb.html
“Jika mengikuti aturan main, pengajuan hak interpelasi terkait DAK tidak akan berjalan mulus. Selain pertimbangan sangat politis dari praksi yang menolak. juga lebih pada aturan main dan syarat syarat di internal DPRD sendiri,” pungkasnya. (*)