Oleh: M. Affan Fadilah – Ketua DPM Unram 2024
Pemilihan rektor merupakan momentum strategis dalam menentukan arah kebijakan universitas. Oleh karena itu, seluruh aspek hukum yang mengatur proses pemilihan harus bersifat jelas, konsisten, dan patuh terhadap regulasi yang lebih tinggi agar menghasilkan pemimpin yang kredibel dan kompeten.
Namun demikian, proses pemilihan Rektor Universitas Mataram (Unram) tahun ini menuai kontroversi. Salah satu sumber polemik adalah tafsir terhadap batas usia calon rektor sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 huruf c Draf Peraturan Senat Unram Tahun 2025. Ketentuan itu menyatakan bahwa usia maksimal calon rektor adalah 60 tahun, yang kemudian ditafsirkan sebagai “belum memasuki ulang tahun ke-61” pada saat berakhirnya masa jabatan rektor yang sedang menjabat.
Tafsir ini bertolak belakang dengan ketentuan dalam Pasal 4 huruf c Permenristekdikti Nomor 19 Tahun 2017 yang secara eksplisit menyebutkan, bahwa usia calon pemimpin PTN adalah paling tinggi 60 tahun pada saat berakhirnya masa jabatan pemimpin yang sedang menjabat. Ketentuan dalam peraturan menteri tersebut tidak menyisakan ruang tafsir tambahan, apalagi perluasan makna menjadi “belum genap 61 tahun”.
Secara hierarki hukum, Permenristekdikti adalah peraturan yang lebih tinggi daripada Peraturan Senat Universitas. Dalam sistem hukum Indonesia, berlaku asas lex superior derogat legi inferiori, yang berarti peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Maka dari itu, penafsiran usia yang diperluas dalam Draf Peraturan Senat Unram patut dipertanyakan secara hukum dan etika kelembagaan.
Sebagai referensi, tafsir batas usia serupa juga telah diuji di pengadilan, sebagaimana dalam Putusan Nomor 258 K/TUN/2024 jo. Putusan Nomor 91/B/2023/PT.TUN.MDO jo. Putusan Nomor 22/G/2023/PTUN.MDO. Putusan tersebut menegaskan bahwa batas usia maksimal 60 tahun harus dihitung sejak awal masa jabatan, bukan di akhir. Oleh karena masa jabatan rektor berlangsung selama empat tahun, maka logikanya calon rektor tidak boleh berusia lebih dari 56 tahun saat diangkat, agar pada akhir masa jabatan tidak melampaui usia 60 tahun.
Selain bertentangan dengan regulasi, perluasan tafsir ini juga mengaburkan prinsip kehati-hatian dan kepastian hukum. Dalam sistem administrasi negara, penetapan usia selalu bersifat pasti: 60 tahun, 0 bulan, 0 hari. Tidak ada pengecualian untuk usia “belum 61 tahun” atau “60 tahun lebih satu hari”, seperti yang diberlakukan dalam sistem seleksi CPNS.
Senat Unram sebagai lembaga normatif seharusnya tidak mengambil alih kewenangan menteri dalam menafsirkan regulasi. Jika penafsiran sepihak ini tetap dipertahankan dan diadopsi dalam peraturan senat, maka hal tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk penyimpangan administratif. Bahkan lebih jauh lagi, hal ini bisa menciptakan preseden buruk bagi kampus lain untuk menafsirkan ulang aturan nasional secara sewenang-wenang. Imbasnya adalah lahirnya disparitas dan ketidakpastian hukum dalam tata kelola pendidikan tinggi di Indonesia.
Oleh karena itu, Pasal 2 huruf c dalam Draf Peraturan Senat Unram Tahun 2025 harus dikritisi dan direvisi. Jika tetap dibiarkan, ketentuan ini tidak hanya bertentangan dengan Permenristekdikti Nomor 19 Tahun 2017, tetapi juga berpotensi membuka celah manipulasi administratif yang dapat mencederai integritas institusi.
Senat Universitas wajib tunduk pada norma hukum yang lebih tinggi. Demi menjaga legalitas, objektivitas, dan keadilan dalam pemilihan rektor, maka draf peraturan tersebut sebaiknya dikoreksi sebelum ditetapkan, agar Universitas Mataram tetap menjadi institusi yang menjunjung tinggi etika akademik dan supremasi hukum. (*)