Mataram (NTBSatu) – Pertumbuhan ekonomi Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) menunjukkan angka yang positif secara makro.
Namun, sejumlah indikator lapangan serta keluhan pelaku usaha kecil menengah menunjukkan sejatinya pertumbuhan tersebut belum dirasakan secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) NTB di luar sektor tambang tumbuh sebesar 5,57 persen. Sementara konsumsi rumah tangga tumbuh 4,19 persen secara tahunan.
Meski demikian, Ketua Lembaga Pengembangan Ekonomi Wilayah (LPEW) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mataram (Unram), Saipul AM, PhD, menilai capaian tersebut masih bersifat agregat. Belum mencerminkan kondisi riil di lapangan.
“Banyak pelaku usaha kecil justru mengalami penurunan omzet. Artinya, pertumbuhan yang terjadi belum bersifat inklusif. Dalam istilah ekonomi, ini dikenal sebagai growth without equity, yakni pertumbuhan yang timpang,” ujar Saipul kepada NTBSatu, Minggu, 1 Juni 2025.
Konsumsi Naik, tapi Tidak Merata
Peningkatan konsumsi rumah tangga secara makro disebut lebih banyak ditopang oleh kelas menengah atas serta aktivitas ritel modern.
Tren ini selaras dengan proyeksi nasional. Di mana Kementerian Perdagangan mencatat pertumbuhan ritel modern diperkirakan mencapai 5 persen tahun ini.
Sebaliknya, laporan lapangan justru menunjukkan bahwa daya beli masyarakat kecil mengalami penurunan. Banyak pedagang pasar dan pelaku UMKM mengeluhkan sepinya pembeli serta penurunan penghasilan.
“Konsumen memang masih berbelanja, tetapi lebih banyak di pusat perbelanjaan modern dan platform daring. Pasar tradisional dan warung rakyat kurang mendapatkan efek positif dari peningkatan konsumsi ini,” tambah Saipul.
Inflasi Pangan Tekan Daya Beli
Meski pertumbuhan konsumsi tercatat positif, inflasi pangan menjadi tantangan tersendiri. Pada Desember 2024, inflasi pangan di NTB mencapai 2,81 persen. Jauh di atas inflasi nasional sebesar 1,28 persen.
Kondisi ini berpengaruh langsung terhadap daya beli masyarakat, khususnya kelompok berpenghasilan rendah.
Saipul menjelaskan, kenaikan harga bahan pokok menyebabkan jumlah barang yang bisa dibeli menurun. Sekalipun nominal pengeluaran rumah tangga meningkat.
“Beban inflasi pangan sangat terasa di warung kecil dan pasar tradisional. Ini menunjukkan ketimpangan antara pertumbuhan makro dan kesejahteraan mikro,” ujarnya.
Perlu Kebijakan yang Lebih Berpihak
Penguatan daya saing Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di NTB terus menjadi pekerjaan rumah besar. Sektor ini selama ini menjadi tulang punggung ekonomi rakyat, namun belum sepenuhnya diberdayakan secara maksimal.
Ketua Komisi II DPRD NTB, Haji Lalu Pelita Putra menegaskan, berbagai strategi harus pemerintah lakukan secara lebih sistematis dan terukur. Fokus utama kepada tiga sektor unggulan. Yakni kuliner lokal, tenun khas daerah, dan wisata berbasis komunitas.
Penguatan UMKM tidak bisa hanya bersifat seremoni. “Harus ada pendampingan nyata dari hulu ke hilir, mulai dari manajemen usaha, pemasaran hingga digitalisasi,” ujar Pelita.
Menurutnya, program pendampingan UMKM perlu lebih menekankan peningkatan kapasitas manajerial, akses pembiayaan yang terjangkau, serta perluasan pasar berbasis teknologi digital. Di saat yang sama, penguatan kualitas SDM pelaku usaha menjadi fondasi penting.
“Banyak UMKM kita unggul secara produk, tapi kalah di strategi. Mereka butuh pelatihan yang aplikatif, bukan sekadar seminar. Digitalisasi harus menyentuh pasar tradisional juga, bukan hanya mereka yang sudah melek teknologi,” pungkasnya. (*)