Oleh: Mujaddid Muhas, M.A.
Tetiba berdejavu dengan film lawas Disney (1994): The Lion King. Film tersebut saya tonton bersama seniorita Budayawan NTB yang mengajak saya nongkrong sejenak ke Taman Ismail Marzuki dekat Tugu Proklamasi, sekitar tahun 2011. Gedung teater film itu pun kini telah berpindah sejak direnovasi totalnya gedung di kawasan kebudayaan itu. Lazimnya, saat berkesempatan mendapatkan perintah tugas ke ibu kota, saya kerap menyempatkan datang dan menemui seniorita, teman ormas atau sahabat yang ada di ibu kota. Kini pun sudah tidak lagi ibu kota, melainkan Daerah Khusus Jakarta.
Film The Lion King debutan versi animasi (2011) itu mengisahkan kekerabatan Singa “Raja Rimba” (Mufasa) yang memiliki sifat sekaligus sikap kepemimpinan selayaknya manusia. Sang Raja Singa yang meninggal, meresidu nestapa. Keluarga Singa berkabung dengan segala konsekuensi. Diantaranya, putra mahkota Simba, berkelana ke pengasingan, akibat adanya perebutan kuasa oleh pamannya. Dari keadaan itulah, muncul diksi yang kemudian hari seolah menjadi mantra “Hakuna Matata”.
Dalam bahasa Swahili (Afrika Utara) bermakna “jangan khawatir” atau semacamnya. Hakuna Matata terucap dari teman seperjuangan Simba yang loyal dan bersahabat total kepada putra mahkota: Timon dan Pumbaa. Sahabatnya itu, kerap menyugestinya untuk tabah, tegar menghadapi kenyataan dengan spirit optimis, riang gembira dalam keadaan apapun, bertaut pada Filosofi Hakuna Matata. Akhirnya sang pangeran Simba meraih tahta kuasa yang mendigdaya negerinya, memberdaya rakyatnya.
Tentu, film animasi ini hanya perumpamaan belaka. Suatu cerita bagaimana pemimpin Singa dan keluarga beserta hulubalang dan rakyatnya di rimba raya, mengelola kehidupan. Menjadi penengah dari polemik, penyolusi dari masalah, serta penauladan dari ragam karakter dan habitatnya. Penggambaran yang membuat saya takjub dengan kemampuan sutradara film itu meneroka sisi spesifik fauna yang bisa diinspirasi bagi yang menyimak (manusia). Belakangan, ternyata film tersebut diganjar penghargaan, termasuk soundtrack lagunya. Inspirasional pada logika relasi kuasa dan demokrasi.
Keterdejavuan itu mengayun pikiran saya mengonversinya dari sisi hajatan demokrasi lokal Pilkada NTB tahun 2024. Pilkada berlangsung pada 10 kabupaten/kota, 117 kecamatan, 1.166 kelurahan/desa, 8.405 TPS, dengan tingkat Generasi ZMile tertinggi berkisar 60 persen, terdiri atas Generasi Z sebesar 24 persen dan Generasi Milenial sebesar 36 persen (Sumber: Bawaslu NTB, 2024). Artinya penentu dominan secara statistik ada pada pemilih Generasi ZMile.
Setidaknya hingga titik berkisar agregat selisih belum menebal, menurut berbagai lembaga penyelenggara survei (kredibel). Seperti belum ada yang bisa memastikan kemenangan. Tinggal menunggu gebrakan dari residu waktu sepekan terakhir. Pernyataan haluan sikap tegas tokoh (vote getter), keikutsertaan vote getter dalam kampanye terbuka, opsi pilihan generasi muda (GenZ dan Milenial), serta debut performa debat akhir pilkada, tampak menjadi penakar finalnya. Bukan belaka pada gebrakan money politics yang bisa menjadi beban kepemimpinan kelak. Dengan telah kian berulangnya pilkada, pemilih cenderung hanya menggunakan momentum adanya money politics sebagai cara lampias, dan punya peluang justru tidak memilih yang memberikannya.
Dalam pada itu, kita menyaksikan dari berbagai platform media. Beberapa kali temuan uang dalam jumlah fantastis bukti kelakuan jahat dan atau sitaan atas peristiwa. Menunjukkan aparatur penegak hukum telah menyalakan warning bahwa kejahatan sedang banyak-banyaknya. Dalam konteks pilkada, warning pula bagi oligarki, agar tidak menggunakan pengaruh dan nominal uangnya untuk cara-cara terselubung sebagai tabiat pada ajang kompetisi. Tiga hari tenang menjelang hari H, disinyalir banyak uang beredar untuk pemenangan yang bisa merusak tatanan demokrasi.
Tindakan “menyuap” rakyat selama tiga hari berturut-turut, kemudian terabaikan selama lima tahun. Tentu, kita tidak mau itu. Masih banyak cara tidak norak dan cara elegan. Permisif koruptif pada akhir pertandingan menyebabkan beban minor pada awal kekuasaan. Oligarki bisa menyiapkan investasi terbaiknya, untuk turut serta berkontribusi (profit oriented sekali pun) membangun daerah mengimplementasi good corporate government dan menyokong good governance.
Bukankah daerah yang bergerak maju adalah pemerintahnya telah membagi habis tugas dan perannya kepada semua unsur pemerintah beserta stakeholders (termasuk swasta dan masyarakat sipil). Teresidu utama kewenangan kuasa dan reproduk regulasi serta stabilnya ekuilibrium harmoni dari segenap komponen. Lebih baik bagi habis tugas dan peran yang berjangka futuristik daripada bagi habis uang politik berisiko pelik. Bermula dari upaya sungguh, stop kecurangan pilkada pada semua lini dan stop politik transaksional yang merugikan demokrasi. Saatnya rakyat berdaulat di Nusa Tenggara Barat. Terciptanya pilkada bersih dan bermartabat.
Memang bisa sebersih itu pilkada? Bisa. Apabila semua kita memulainya dengan teladan dan tidak permisif koruptif, tidak melakukan pencucian uang, tidak ada penyuapan sebagai jalan pintas kemenangan, dan tidak ada tukar tambah kebijakan di belakang layar yang merusak ekologi. Semisal tim sukses para reformis antikorupsi yang proekologi bisa berperan menghalau pengaruh asupan negatif oligarki (bila ada). Mari memberi kesempatan dan menunggu pemimpin terpilih, untuk melunasi janji dan komitmennya dalam bentuk realisasi kerja nyata, untuk rakyat selama lima tahun. Tahta kuasa untuk rakyat.
Kembali pada keterdejavuan itu lagi. Kemauan sekaligus kemampuan Timon dan Pumbaa meneguhkan Simba untuk berjuang. Siapa pun yang memenangkan pertandingan, itulah yang terbaik bagi pilihan terbanyak pemilih yang laik untuk dihormati. Bahwa tiap kompetisi, pasti ada turbulensi, polemik bahkan perseteruan pengaruh. Termasuk kemungkinan adanya plot twist yang ada pada realita pilkada. Biar getir, jangan khawatir, seperti lema mantra film di atas: Hakuna Matata. (*)