Mataram (NTBSatu) – Calon Gubernur NTB, Lalu Muhamad Iqbal berjanji akan menerapkan merit sistem atau meritokrasi dalam pemerintahan jika terpilih nanti. Hal ini Iqbal ungkap dalam debat perdana Pemilihan Gubernur (PIlgub) NTB, Rabu, 23 Oktober 2024 malam.
Namun janji mantan Dubes RI untuk Turki itu terkesan bertolak belakang dengan kebijakan Indah Dhamayanti Putri selama menjadi Bupati Bima. Di mana, Indah merupakan Calon Wakil Gubernur (Cawagub) yang berpasangan dengan Iqbal.
Dalam struktur pemerintah Kabupaten Bima, banyak diisi keluarga Bupati. Seperti jabatan Sekda Bima. Saat ini, Sekda Bima, Adel Linggi Ardi merupakan paman kandung Indah.
Tidak hanya Adel, Indah juga menunjuk pamannya yang lain, Afifudin sebagai Plt Kadis Pertanian dan Perkebunan Bima. Sedangkan iparnya, Laily Ramadhani menjadi Plt BKD dan Diklat Bima.
Pengamat Politik Alfisahrin mengatakan, merit sistem atau meritokrasi dalam birokrasi di Indonesia sudah lama berlaku dan bukan barang baru.
”Bisa kita lacak di Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN dan mengatur tentang sistem merit dalam manajemen ASN,” jelas dia.
Untuk menopang reformasi birokrasi dan peningkatan profesionalitas pelayanan ASN, prestasi, dan sumber daya ASN, sambung dia, maka KASN menetapkan peraturan Nomor 5 tentang penilaian mandiri penerapan sistem merit di seluruh instansi pemerintah yang ditetapkan tahun 2017.
Sistem Hanya “Macan Kertas”
Menurut dia, sejatinya roh dan substansi utama dari praktek meritokrasi dalam birokrasi adalah memberikan pengakuan. Serta, penghargaan kepada ASN yang berprestasi atau memiliki kemampuan.
”Sayangnya meski sudah lama diterapkan, faktanya sistem ini di daerah-daerah hanya menjadi macan kertas. Karena, hanya megah dan ideal sebagai konsep, tetapi implementasinya amburadul,” sorotnya.
Prinsip the right man on the right place, kata Alfin, cenderung hanya menjadi retorika. Karena nyaris distribusi dan penempatan ASN karier dalam jabatan tertentu di daerah sifatnya politis dan ikut selera pribadi kepala daerah.
”Buruknya lagi di NTB meritokrasi hanya menjadi komoditas politik pejabat. Faktanya masih marak terjadi jual beli jabatan di semua level eselon. Terutama di pemda-pemda,” ujarnya. ”Siapa bayar dia menjabat, tidak bayar gigit jari,” sambung dia.
Akibatnya banyak penempatan pejabat yang menyalahi aturan, kaidah, dan prinsip meritokrasi. Sehingga berdampak pada kompetensi, kualifikasi, serta kinerja.
”Kebanyakan kepala daerah tunjuk pejabat berdasarkan wangsit dan bisikan gaib tim sukses. Bukan dari hasil evaluasi dan ujian kelayakan,” kata dia
Dia menilai, dalam debat perdana Pilkada NTB, semua paslon masih terkesan gagap dan gugup untuk bicara reformasi birokrasi di NTB secara objektif.
”Itu semiotika politik yang saya baca dari debat. Ketiga paslon hanya saling setuju tidak saling counter dengan menunjukan ketinggian kualitas, komprehensifitas dan kedalaman empiris dari fakta penyelenggaraan birokrasi di NTB,” ungkapnya.
Sampaikan Inovasi dan Kreatifitas
Harusnya, kata Alfi, para paslon ini mendedahkan banyak inovasi dan kreatifitas layanan yang menjadi prioritas pasca-terpilih nantinya. Sehingga, meritokrasi bukan persoalan konsep, tetapi problem implementasi di lapangan.
”Tantangan birokrasi di Indonesia, di antaranya korupsi, nepotisme, overlapping aturan, dan pelayan yang panjang,” katanya.
Dia mempertanyakan peta konsepnya para paslon dalam mengatasi rumitnya implementasi merit sistem. Sehingga, yang diadu adalah penguasaan masalah, kreativitas dan lompatan gagasan inovatif dalam menciptakan kebijakan praktis yang mendorong adanya transformasi mindset, perilaku, dan mentalitas pelayanan birokrasi di NTB.
”Ini yang seharusnya para paslon pertontonkan dalam atraksi debat paslon kemarin malam. Bukan penjelasan dan argumentasi normatif. Karena gubernur memiliki kewenangan besar dalam membangun sistem birokrasi berkualitas di NTB,” tuturnya.
Dia menambahkan, meritokrasi yang menjadi materi debat harus menjadi isu strategis dan prioritas untuk dibenahi. Karena penggerak penting pembangunan di daerah adalah mesin birokrasi yang andal dan profesional.
”Sehingga tidak ada lagi cerita buruk tentang penempatan pejabat di daerah yang sifatnya hanya bagi bagi kekuasaan, balas jasa, balas budi dan dilakukan tanpa patuh pada aturan meritokrasi,” pungkasnya. (*)