BERITA LOKALHukrim

Oknum Polisi yang Diduga Perkosa Mahasiswi Hanya Dituntut 10 Bulan Penjara

Mataram (NTBSatu) – Oknum personel Polda NTB inisial TO yang diduga memerkosa mahasiswi hanya dituntut 10 bulan penjara di PN Mataram.

“Betul, tuntutannya sepuluh bulan. Karena setelah memasuki masa persidangan, terdakwa dan korban ini menunjukkan surat kesepakatan damai,” kata jaksa penuntut umum Kejati NTB, I Nyoman Sugiartha pada Rabu, 3 Juli 2024.

Sugiartha mengaku, jika mengacu Pasal 6 huruf c Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), tuntutan TO memang rendah.

Ada beberapa pertimbangan mengapa jaksa menuntut rendah oknum polisi cabul tersebut. Salah satunya, perdamaian antara korban dan terdakwa.

Pada persidangan pertama maupun kedua, korban menggebu-gebu ingin melihat terdakwa Brigadir TO mendapat hukuman atas tindakan yang ia lakukan.

Namun saat persidangan berikutnya, tiba-tiba korban dan terdakwa menunjukkan surat perdamaian. Bahkan keduanya berencana meminta pencabutan laporan. Padahal proses hukum sudah berjalan sampai ke tahap persidangan.

“Saya sampaikan juga kenapa tidak mengajukan RJ (restorative justice) saat kasus ini di penyidik saja. Kenapa saat sudah berjalan di persidangan,” sesalnya.

Jaksa penuntut umum pun selanjutnya berkoordinasi persoalan ini kepada pihak perwakilan Kejaksaan NTB. Akhirnya mereka pun mengajukan tuntutan rendah terhadap terdakwa.

Sisi lain, orang tua korban dan pelaku berkeluarga. Itulah yang menyebabkan persoalan ini ada kesepakatan damai.

“Nanti kalau kami tuntut tinggi, dianggap kami mengabaikan surat kesepakatan damai kedua pihak yang disampaikan di persidangan,” ungkapnya.

Senada dengan itu, Humas PN Mataram, Kelik Trimargo membenarkan tuntutan jaksa cuman 10 bulan penjara. “Betul sepuluh bulan tuntutan jaksa,” jelasnya.

Kuasa Hukum Terdakwa Kecewa

Terpisah, kuasa hukum korban, Muhammad Tohri Azhari mengaku kecewa dengan tuntutan jaksa. Oknum polisi cabul itu seharusnya mendapat tuntutan 12 tahun.

“Ada apa ini?,” tanyanya dengan nada tinggi.

Tohri beberapa kali mendampingi korban dalam persidangan tertutup. Namun, saat sidang tuntutan dia tidak mendampingi korban, sehingga tak mendengarkan tuntutan langsung.

Rupanya, perdamaian antara korban dan terdakwa tanpa sepengetahuan Tohri selaku kuasa hukum.

“Sangat saya sayangkan pihak keluarganya tidak ada koordinasi dengan pihak kami. Sementara kami masih sebagai kuasa hukumnya,” sesalnya.

Gedung Pengadilan Negeri Mataram di Jalan Langko Kota Mataram. Foto: Zulhaq Armansyah

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button