Oleh: Baiq Arimbi – Mahasiswa D3 Perpajakan FEB Universitas Mataram
Pada dasarnya, pajak merupakan instrumen yang sangat penting dan tidak bisa dipisahkan dalam APBN, dikarenakan merupakan kontributor terbesar penerimaan negara. Atas dasar itu, manajemen pajak terus diperbaiki pemerintah dalam mempermudah pembayaran wajib pajak, serta efiensi dalam pelayanan dan pendataan.
Seperti yang tertuang dalam tujuan negara Indonesia pada UUD 1945, alinea ke-4 yang terkhusus untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Berdasarkan pasal 23 A dalam Undang-Undang Dasar 1945 “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”. Pasal ini menegaskan pentingnya mengatur keuangan negara secara transparan dan bertanggung jawab untuk kemakmuran rakyat Indonesia
Rencana pembangunan jangka panjang indonesia atau yang dikenal dengan Indonesia emas 2045 akan dapat terwujud bila tata kelola perpajakan lebih baik. Pada era informasi teknologi saat ini memberi ruang bagi pemerintah untuk merevitalisasi pelayanan untuk mencapai efisiensi segala aspek dalam perpajakan. Maka, indonesia emas 2045 dalam perpektif perpajakan bermula dari pemanfaatan teknologi informasi saat ini untuk kemudahan dalam pelayanan sektor pajak. Beberapa program yang telah diliuncurkan seperti integrasi NIK ke dalam NPWP, core tax system dan lain-lain.
Kesuksesan realisasi perpajakan, tentu saja akan berdampak pada efektifitas perecanaan penganggaran berbagai sektor. Salah satunya sektor pendidikan. Negara mengamanatkan lebih dari 20 persen anggaran pendidikan dalam APBN. Anggaran pendidikan tidak saja dalam bentuk bantuan operasional, program beasiswa afirmasi/bidikmisi, memperkuat pendidikan vokasi melalui pengembangan BLK, pembangunan infrastruktur lain, namun juga pemberian beasiswa sekolah lanjutan untuk S-2 maupun S-3 yang difasilitasi oleh LPDP. Pendidikan yang baik tentu menghasilkan lulusan yang siap bekerja dan mengembangkan keilmuan lebih lanjut.
Namun faktanya, pengangguran terdidik lebih didominasi lulusan vokasional atau diploma. Dapat diduga, lulusan vokasional yang harusnya siap bekerja tidak cukup terampil dalam bekerja setelah tamat kuliah. Termasuk mereka yang lulusan diploma perpajakan yang oleh lembaga-lembaga pendidikan siapkan untuk bekerja di sektor formal (PNS maupun industri) bidang perpajakan dan juga menjadi wirausahawan, yang kita sebut tax preneur.
Pemerintah perlu mempertimbangkan kualitas dan kuantitas SDM penerus perpajakan. Pendidikan vokasional, diploma perpajakan merupakan lembaga pendidikan yang khusus mempelajari teori dan implementasi pajak. Beasiswa yang ditawarkan misalnya lewat LPDP tidak banyak, bila dikatakan tidak diperuntukan untuk pendidikan vokasional level diploma untuk melanjutkan keahliannya.
Pendidikan vokasional membutuhkan keahlian lanjutan untuk meningkatkan keterampilan. Beberapa diantaranya sertifikasi berupa brevet pajak dan program-program lainnya. Pemerintah seharusnya menyiapkan anggaran seluas-luasnya untuk mahasiswa vokasional mendapat beasiswa untuk kebutuhan brevet atau sertifikasi nasional dan internasional lain dalam bidang perpajakan.
Dengan semakin majunya sistem informasi saat ini, tentu SDM perpajakan harus sedari awal diperhatikan untuk peningkatan kualitas. Beasiswa LPDP harusnya tidak hanya menyasar pendidikan master dan doktor namun juga untuk peningkatan keterampilan dan pengetahuan bidang perpajakan khusus bagi mahasiswa perpajakan.
Mahasiswa pajak dan Persaingan Kerja
Untuk meningkatkan kompetensi sumber daya manusia, negara harus lebih fokus dalam menentukan tujuan dan arah pembagunan, khususnya terkait sumber daya manusia ke depan. Mahasiswa perpajakan harus fokus disiapkan untuk bekerja dan terlibat maksimal khusus dalam bidang perpajakan. Jangan sampai terkait pekerjaan perpajakan lulusan perpajakan harus bersaing dengan lulusan akuntansi, ekonomi bahkan hukum yang tidak secara detail membahas perpajakan dalam kurikulumnya. Titik tekan menyiapkan kualitas generasi perpajakan harus dengan fokus membangun kualitas lulusan perpajakan, entah itu diploma-3 maupun Diploma-4
Penulis sebagai mahasiswa diploma 3 perpajakan juga merasa prihatin atas kenyataan bahwa pengangguran terdidik lebih banyak dikontribusikan oleh lulusan diploma. Padahal pendidikan diploma sedari awal disiapkan untuk dapat bekerja. Depertemen keuangan dan direktorat pajak harusnya bersama lembaga pendidikan perpajakan menjawab berbagai kendala lulusan perpajakan menghadapi semakin kompleksnya persoalan perpajakan ke depan.
Mahasiswa perpajakan diharapkan dapat difasilitasi untuk dapat bekerja dibidang perpajakan di sektor formal dan difasilitasi banyak lulusan untuk menjadi konsultan pajak, baik di level nasional maupun level internasional. Inilah fokus yang harus dipikirkan, jangan sampai terkesan pemasukan APBN yang dikontribusikan oleh sektor pajak yang sangat tinggi, tetapi tidak dibarengi dengan perhatian pada SDM perpajakan di lembaga-lembaga pendidikan perpajakan yang kini tersebar di tanah air.