Hukrim

Jaksa Tuntut Cabut Hak Politik Mantan Wali Kota Bima

Mataram (NTBSatu) – Terdakwa perkara suap dan gratifikasi di lingkup Pemkot Bima, Muhammad Lutfi menjalani sidang tuntutan di PN Tipikor Mataram, Senin, 6 Mei 2024.

Selain dituntut 9 tahun 6 penjara, Jaksa Penuntut Umum (JPU) juga meminta majelis hakim diketuai Putu Gde Hariadi mencabut hak politik Lutfi hingga menyelesaikan pidana pokok.

“Meminta majelis hakim mencabut hak politik terdakwa,” kata JPU diwakili Agus Prasetya Raharja di ruang sidang PN Tipikor Mataram.

Tuntutan itu berdasarkan Pasal 18 ayat (1) huruf D UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta di dalam putusan Mahkamah Konstitusi selaku penafsir konstitusi No.42/PUU-XIII/2015 yang menyatakan bahwa pencabutan hak politik diperbolehkan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai bentuk hukuman tambahan yang dikenakan kepada terpidana tindak pidana korupsi.

“Mencabut hak politik terdakwa Muhammad Lutfi hingga menyelesaikan pidana pokok,” ungkapnya.

Sebelumnya, Wali Kota Bima periode 2018-2023 itu dituntut 9 tahun 6 bulan penjara. Kemudian membayar denda sebesar Rp250 juta subsider 6 bulan kurungan.

Selain itu, suami Eliya Alwaini itu juga dituntut membayar Uang Pengganti (UP) sebesar Rp1,920 miliar. “Jika tidak membayar setelah putusan inkrah, maka hartanya akan disita dan dilelang. Dan jika hartanya tidak mencukupi, maka diganti 1 tahun kurungan,”  jelas Agus.

Berita Terkini:

Lutfi dinilai terbukti menerima gratifikasi sebesar Rp2,15 miliar dari sejumlah proyek pengadaan barang dan jasa di Kota Bima tahun 2019-2022.

Kemudian, melakukan turut serta atau turut campur dalam pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemkot Bima bersama sejumlah orang. Antara lain, istrinya Eliya Alwaini, ipar istrinya, Muhammad Makdis, dan Kepala Bidang (Kabid) Cipta Karya Dinas PUPR Kota Bima, Fahad.

Agus Prasetya Raharja juga membacakan alasan yang memberatkan dan meringankan Lutfi.

Untuk yang memberatkan, Wali Kota Bima periode 2018-2023 dinilai tidak mendukung program pemerintah dalam mewujudkan pemerintahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Kemudian, merusak kepercayaan kepercayaan masyarakat dan berbelit-belit dalam memberikan keterangan.

“Yang meringankan, berlaku sopan dalam persidangan dan tidak pernah dihukum,” ujarnya.

Lutfi dinilai melanggar Pasal 12 huruf i dan/atau Pasal 12B juncto Pasal 15 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP. (KHN)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button