Mataram (NTBSatu) – Potensi ketidaknetralan Penjabat (Pj) Kepala Daerah pada Pilkada Serentak 2204 masih dinilai akan sangat kuat. Hal itu imbas dari adanya dugaan penyalahgunaan jabatan oleh Pj Kepala Daerah yang dibuktikan dengan pernyataan tiga hakim MK beberapa waktu lalu.
Peneliti Transparency International Indonesia (TII), Alvin Nicola mengatakan, penyelenggara perlu mewaspadai risiko ketidaknetralan sejumlah Pj Kepala Daerah pada pelaksanaan Pilkada Serentak 2024.
Dia menilai hal ini tidak lepas dari Pilpres lalu, di mana sejumlah Pj Kepala Daerah dimanfaatkan sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat dalam memenangkan salah satu pasangan calon. Setidaknya, terdapat 25 daerah saat ini dipimpin oleh Pj Gubernur.
Alvin menjelaskan ada tren peningkatan belanja pada anggaran bantuan sosial (Bansos) tahun ini. Menurutnya, terdapat potensi sisa anggaran bansos tersebut yang dapat digunakan menjelang Pilkada 2024. Dana bansos tersebut menurut Alvin berpotensi dapat dimanfaatkan untuk memobilisasi suara calon kepala daerah tertentu.
“Memang harus diwaspadai, kami melihat betul terutama ada tren peningkatan anggaran bansos di medio kuartal lalu jelang pilpres. Akhir tahun lalu sudah anggarkan mayoritas untuk tahun ini dan belum dikeluarkan semua. Asumsi kami sangat mungkin mobilisasi semua dilakukan,” ujar Alvin dalam acara diskusi bertajuk Refleksi Hasil Pemantauan Kinerja dan Netralitasi Pejabat di Pilkada 2024 dikutip pada Channel YouTube HukumOnline Selasa, 30 April 2024.
Era baru resentralisasi sudah dimulai dengan penunjukan Pj Kepala Daerah yang tidak demokratis, begitupula dengan kebijakannya. Baginya, para Pj Kepala Daerah lebih pada operasi bisnis serta tidak mampu memberi gambaran soal orientasi kebijakan terhadap warga rentan dan warga daerah yang dia pimpin.
“Dalam kebijakannya juga cenderung berat sebelah, pro pusat dan tidak mendengar masyarakat daerah,” katanya.
Dia juga menegaskan soal aturan Pj Kepala Daerah baik gubernur, walikota, hingga bupati yang harus mundur jika ingin mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
Aturan tersebut tertuang dalam Pasal 7 ayat (2) huruf q UU No.10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU No.1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi UU. Namun risikonya, diubahnya kebijakan tersebut jelang Pilkada Serentak 2024.
Berita Terkini:
- DKPP Tunggu Laporan Terkait Tayangan KPU soal Survei Jelang Debat Pilgub NTB
- Pemandangan Unik di Kampanye Iqbal – Dinda, Haji Iron dan Tuan Guru Fatihin Turun Memeriahkan
- Tim Iqbal-Dinda: CNN tak Langgar Aturan Tayangkan Hasil Survei LSI
- DWP Kabupaten Sumbawa Serahkan Bantuan kepada Panti Asuhan
- Ogah Bicara Kasus Perusakan Gerbang, Ketua DPRD NTB: Tanya Kapolda!
“Problemnya ke depan kami mau lihat apakah ada konsistensi ketika mau mencalonkan diri kepala daerah,” katanya.
Di tempat yang sama, Manager Program Perkumpulan Untuk Pemilu (Perludem) Fadli Ramadhanil berpendapat, kepala daerah seperti gubernur, bupati dan walikota merupakan jabatan politik. Dengan begitu, penempatan kepala daerah berstatus Pj rawan digunakan untuk kepentingan politik pemerintah pusat.
Tingginya kepentingan politik atas Pj Kepala Daerah tersebut mengganggu pemenuhan layanan kepada masyarakat di berbagai daerah. Selain itu, menurut Fadli konflik kepentingan Pj Kepala Daerah saat Pilpres sudah terkonfirmasi saat proses persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK).
“Ada keresahan kami banyak Pj Kepala Daerah mengisi posisi politik seperti gubernur, bupati dan walikota. Kekhawatiran kami Pj Kepala Daerah akan digunakan mobilisasi terkonfirmasi dalam proses persidangan di MK,” ungkap Fadil.
Sebagai informasi, Pilkada Serentak 2024 akan diselenggarakan pada 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota pada November mendatang. Berbagai persiapan dilakukan oleh penyelenggara pemilu yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). (ADH)