ISU SENTRALTrending

Film Dirty Vote: Skenario “Telanjang” Dugaan Kecurangan Pemilu 2024

Mataram (NTBSatu) – Film Dirty Vote yang tayang pada Minggu pagi, 11 Februari 2024 di akun YouTube Dirty Vote menjadi perbincangan nasional hingga sekarang.

Diketahui, film tersebut merupakan karya dokumenter eksplanatori kecurangan pemilu 2024 yang disampaikan tiga orang ahli hukum tata negara, yaitu Bivitri Susanti, Feri Amsari, dan Zainal Arifin Mochtar. Sutradaranya, Dandhy Dwi Laksono. Jurnalis Investigasi yang pernah sukses menelurkan karya “Seksi Killers”, juga saat momen Pemilu 2019.

Mantan Jurnalis televisi dan pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia ini, bersama koalisi masyarakat sipil melahirkan karya baru, Dirty Vote. Artinya, suara kotor.

Melalui film yang berdurasi 1 jam 57 menit 21 detik ini, ketiganya membeberkan secara lugas adanya pengerahan instrumen kekuasaan untuk tujuan memenangkan pemilu 2024, dengan proses menabrak hingga merusak tatanan demokrasi.

Pengerahan instrumen tersebut merupakan bukti adanya kecurangan yang terjadi sejak awal pelaksanaan pemilu 2024.

“Penggunaan infrastruktur kekuasaan yang kuat, tanpa malu-malu dipertontonkan secara telanjang di demi mempertahankan status quo. Bentuk-bentuk kecurangannya diurai dengan analisa hukum tata negara,” tulis caption dalam akun Dirty Vote.

Kecurangan-kecurangan itu diperlihatkan oleh masing-masing ahli hukum tata negara ini secara bergantian.

Zainal mengawalinya dengan wacana pemilu satu putaran yang terus digaungkan oleh pasangan calon nomor dua.

Berita Terkini:

Sebab, ungkapnya, bila pemilu 2024 berlangsung dua putaran akan tidak menguntungkan bagi kubu Prabowo-Gibran karena berpotensi kalah. Meski dalam berbagai lembaga survei selalu memimpin.

“Seperti yang terjadi pada Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu, pasangan Ahok-Djarot yang kita ketahui didukung Presiden Jokowi senantiasa secara konstan memenangkan posisi paling atas dari semua survei. Hasil itu terbukti sehingga pada putaran pertama, mereka menang paling atas dan diikuti Anies Baswedan-Sandiaga Uno,” jelas pengajar ilmu hukum di Universitas Gadjah Mada (UGM) ini.

“Tetapi yang terjadi adalah putaran kedua keadaan tersebut berbalik, mengapa berbalik? karena bersatunya kekuatan pengkritik atau bersatunya kekuatan yang melawan orang yang paling teratas itu Anies dan AHY, seakan-akan memiliki angka penjumlahan antara jumlah suara Anies dan AHY pada saat itu,” tambah Zainal.

Terlebih lagi, saat ini, katanya, mulai muncul gerakan yang namanya “gerakan empat jari”.

“Gerakan 4 jari itu seakan-akan menjadi tawaran, simbol bahwa ke depan dalam pilpres kali ini adalah penggabungan kekuatan 01 dan 03 melalui gerakan empat jari atau gerakan 04,” ujar Zainal.

1 2 3Laman berikutnya

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button