Mataram (NTBSatu) – Syahbandar Unit Pelabuhan Kayangan Lombok Timur sekaligus terdakwa korupsi pasir besi, Sentot Ismudiyanto Kuncoro menjalani sidang perdananya, Kamis, 25 Januari 2024.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) diwakili Fajar Alamsyah Malo mendakwa Sentot Ismudiyanto Kuncoro menerima suap untuk menerbitkan Surat Persetujuan Berlayar (SPB). Surat itulah yang menjadi syarat PT AMG melakukan pengapalan material tambang pasir besi.
Dari hasil penjualan pasir besi itu, Sentot menerima sejumlah uang dari PT AMG. “Bahwa Sentot selaku syahbandar menerbitkan SPB untuk kapal pengangkut pasir besi tanpa ada persetujuan dari instansi pemerintah terkait dan bukti pelunasan PNBP royalti. Ternyata itu didorong adanya motivasi berupa uang,” katanya.
Aliran uang yang diperoleh Sentot tidak langsung diterimanya dari terdakwa Rinus Adam Waku, Kepala Cabang (Kacab) PT AMG. Melainkan melalui bawahannya, terdakwa Suharmaji. Suharmaji itulah yang menerima transfer dari Rinus Adam.
Suharmaji diketahui merupakan perwira jaga di Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan Kelas III Labuhan Lombok.
Baca Juga: Mahfud MD Mundur dari Menteri Jokowi: Diapresiasi Timnas, Dipertanyakan TPN
Selain itu, Sentot juga didakwa menerima sejumlah aliran uang dari Rosmawati, istri Suharmaji. Dia menerimanya dalam 13 kali pengiriman periode PT AMG melakukan pengapalan material tambang periode 2021-2022. Total transfer yang diterimanya Rp137 juta.
Selama periode 2021-2022, sambung Jaksa, Sentot memerintahkan perwira jaga agar menerbitkan SPB sebanyak 32 kali. Syarat penerbitannya surat pernyataan dari Dinas ESDM NTB atau ‘surat sakti’.
Padahal, permohonan penerbitan SPB untuk material mineral dan batubara harus dilengkapi persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) dari Kementerian ESDM RI. Hal itu sesuai Pasal 8 ayat (2) huruf b Peraturan Menteri Perhubungan RI Nomor: PM.82 Tahun 2014 tentang Tata Cara Penerbitan Persetujuan Berlayar.
Dengan begitu, JPU mendakwa Sentot dengan Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan/atau Pasal 5 ayat (2) dan/atau Pasal 11 dan/atau Pasal 12 huruf a dan/atau huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP. (KHN)
Baca Juga: Petani NTB Mulai Kesulitan Pupuk, Relawan Ganjar–Mahfud GGMU Bantu Petani Lokal