BERITA NASIONAL

Banyak Anak Muda Terjebak Utang Pinjol, OJK Tegaskan Pentingnya Melek Keuangan Digital

Mataram (NTBSatu) – Saat ini, anak muda memiliki peran penting untuk lebih jeli dan melek terkait dunia digital, khususnya dalam bidang keuangan.

Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Friderica Widyasari Dewi mengingatkan kepada anak-anak generasi Z (Gen Z) agar bijak dalam menggunakan keuangan digital.

“Anak muda sangat memiliki peluang untuk perdalam dunia digital, akan tetapi jangan sampai peluang ini tidak diimbangi dengan pemahaman literasi keuangan digital,” jelasnya yang dilansir dari Kompas, Selasa, 23 Januari 2024.

Selain itu, beberapa dampak dari kurang pemahaman literasi keuangan digital yaitu mudahnya menggunakan pinjaman online (pinjol) secara ilegal.

“Karena lebih mudah persyaratannya, banyak anak muda bahkan generasi milenial pun tergiur dengan kemudahan produk keuangan ‘buy now pay later’ (BNPL) atau pay later,” ungkapnya.

Friderica menambahkan, menurut mereka dengan adanya pay later bisa memudahkan bentuk cicilan atau peminjaman. Tetapi, tanpa disadari, utang mereka menggunung dan saat pembayaran terkesan sangat banyak.

Baca Juga: Tak Dibahas Dalam Debat Pilpres, Walhi Ingatkan Potensi Tenggelamnya Pulau dan Pesisir Pantai Terluar

“Utang yang menumpuk karena penggunaan BNPL juga akan berefek terhadap Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) setiap debitur, kantor yang menggunakan SLIK sebagai salah satu syarat mencari kendidat akan membuat generasi muda kesulitan untuk mencari kerja karena memiliki skor buruk di SLIK,” terangnya.

Selain itu juga, banyak generasi muda tidak bisa memperoleh layanan pada bank yang menyediakan Kredit Perumahan Rakyat (KPR) karena memiliki utang yang menumpuk di produk keuangan seperti BNPL, padahal utang mereka hanya kisaran Rp300 ribu sampai dengan Rp500 ribu akan tetapi menunggak.

“Beberapa konsumen dari produk keuangan seperti BNPL yang memiliki kredit bulanan hingga 95 persen dari penghasilan per bulan. Sedangkan debitur memiliki penghasilan Rp10 juta, maka Rp9,5 juta dipakai untuk membayar utang, per bulannya,” tegasnya.

Maka dari itu, Friderica berharap seluruh penyelenggara keuangan mengedepankan consumer well-being, bukan hanya fokus meningkatkan penjualan produk keuangan semata.

“Sekarang kan banyak produk keuangan itu digital. Kalau yang berbahaya itu anak-anak muda mereka mengakses produk keuangan yang ilegal, dan itu sangat mudah ditemui secara online,” pungkasnya. (WIL)

Baca Juga: Dana Desa Kabupaten Dompu Rp71,6 Miliar Dibagikan ke 72 Desa

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button