Daerah NTB

Cegah Perkawinan Anak, NTB akan Terapkan Sistem Pencatatan “By Name By Address”

Mataram (NTB Satu) – NTB akan menerapkan sistem pencatatan by name by address untuk mencegah perkawinan anak. Menurut lembaga Save The Children, pada tahun 2019 terdapat 311 dispensasi perkawinan anak yang tercatat di Kantor Wilayah Kementerian Agama NTB. Kemudian, pada tahun 2020, jumlahnya meningkat menjadi 803 permohonan dispensasi perkawinan anak. Oleh karena itu, terdapat kenaikan sebanyak 492 permohonan dispensasi perkawinan anak di NTB.

Wakil Gubernur NTB, Dr. Hj. Sitti Rohmi Djalillah M.Pd., mengatakan, sebagaimana teknik survei untuk stunting, NTB akan menggunakan sistem by name and by address berbasis dusun untuk menekan dan mencegah perkawinan anak. Sistem tersebut diharapkan dapat mengantisipasi dan mengedukasi anak-anak di NTB yang hendak menikah.

“Saat ini, data mengenai perkawinan anak rata-rata diambil dari Pengadilan Agama. Di NTB, kami menginginkan data perkawinan anak diambil dari dusun, yakni Posyandu. Sehingga, data detail mengenai perkawinan anak tetap didapatkan, seperti data stunting yang menggunakan metode by name and by address,” ungkap Rohmi, ditemui wartawan di Kantor Gubernur NTB, Rabu, 8 Februari 2023.

Menurut Rohmi, anak-anak di NTB harus fokus sekolah terlebih dahulu, minimal hingga SMA. Untuk menghindari anak-anak dari perkawinan anak, Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB berupaya agar anak-anak selalu menempuh pendidikan hingga tuntas.

“Kami akan bekerjasama dengan Pengadilan Agama juga. Kami berharap Pengadilan Agama mau menjalin kerja sama untuk memproteksi anak-anak dari perkawinan anak,” harap Rohmi.

Perlindungan kepada anak di NTB telah tertuang di dalam Perda No.5 Tahun 2021. Namun, belum terdapat sanksi mengenai perkawinan pada anak.

Menurut Rohmi, penerapan Perda No.5 Tahun 2021 soal Perlindungan Anak sangat membantu. Karena, Pemerintah Desa mulai memperhatikan aturan-aturan yang berlaku. Perda No.5 Tahun 2021 membuat Pemerintah Desa peduli untuk mencegah pernikahan dini pada anak-anak.

“Pernikahan anak, stunting, kemiskinan, sama-sama memiliki hubungan satu sama lain. Jadi, strategi yang komprehensif sangatlah diperlukan, tidak dapat melalui satu program belaka,” terang Rohmi.

Soal sanksi yang tidak ada di dalam Perda No.5 tahun 2021, Rohmi menyebutkan, bukanlah wewenangnya. Sehingga, hal tersebut tidak dapat ditanyakan kepadanya.

“Kami hanya berfokus untuk melakukan pendampingan-pendampingan teknis agar kasus pernikahan anak dapat ditekan dan dicegah. Saya harap, seluruh pihak dapat lebih peduli terhadap kasus pernikahan anak,” papar Rohmi.

Rohmi memilih edukasi soal bahaya pernikahan anak berbasis dusun agar masyarakat makin paham. Menurut Rohmi, keberbahayaan pernikahan anak tidak hanya berdampak pada sisi ekonomi saja, melainkan kesehatan pula.

“Berbagai jenis penyakit dapat terjadi karena pernikahan anak, salah duanya adalah stunting dan kanker,” pungkas Rohmi. (GSR)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button