Daerah NTB

Kapolda NTB Didesak Bersikap atas Dugaan Intimidasi Jurnalis dan Desakan Hapus Berita

Mataram (NTB Satu) – Kapolda NTB Irjen Pol. Djoko Poerwanto didesak bersikap atas dugaan intimidasi dialami jurnalis di Mataram, berupa upaya pemaksaan menjadi saksi dan tekanan menghapus berita.

Desakan itu disampaikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Mataram yang meminta Kapolda NTB bersikap kepada bawahannya yang mencoba melakukan pressure psikis jurnalis.

“Ini menjadi preseden buruk bagi kebebasan pers di NTB. Apalagi pelaku intimitasi dilakukan oleh aparat penegak hukum,” tegas Ketua Divisi Advokasi AJI Mataram, Idham Khalid.

Sepatutnya aparat kepolisian di NTB juga menghargai Perjanjian Kerja Sama (PKS) yang telah ditandatangani Dewan Pers dengan Polri. Isinya, tentang perlindungan kemerdekaan pers dan penegakan hukum terkait penyalahgunaan profesi wartawan.

PKS pertama ini sebagai turunan dari Nota Kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) Dewan Pers – Polri untuk meminimalisir kriminalisasi karya jurnalistik, sebagaimana tertuang dalam surat Nomor : 03/DP/MoU/III/2022 dan Nomor: NK/4/III/2022.

Kabid Propam Polda NTB Kombes Pol. Awan Hariono yang ditemui Jumat 25 November 2022 mengaku menghargai mekanisme dalam UU Pers bahwa wartawan memiliki hak tolak memberikan keterangan apalagi yang berkaitan dengan identitas narasumber yang wajib dirahasiakan. Pihaknya tidak akan melanjutkan pemanggilan terhadap wartawan atas kasus tersebut.

Diminta Hapus Berita

Kronologi sebelumnya, pemanggilan paksa sebagai saksi diterima jurnalis ntbsatu.com, Mugni Ilma. Sejumlah dua orang yang mengaku sebagai anggota Paminal pada Bidpropam Polda NTB meminta agar dia hadir dan bersedia keterangannya dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Selain dihubungi melalui ponsel, Mugni juga didatangi kediamannya oleh orang yang mengaku dari Paminal Polda NTB. Karena merasa terintimidasi, Mugni melalui perusahaannya mengadukan tindakan itu ke organisasi profesi, AJI Mataram.

Selain intimidasi untuk jadi saksi, tekanan lain yang dirasakan Mugni Ilma adalah permintaan take down atau penghapusan berita berjudul “Korban Kecelakaan Diduga Dipungut Jutaan Rupiah, ini Respons Kapolresta Mataram”. Tekanan yang sama dirasakan kontributor vivanews.com Satria Zulfikar yang menulis berita sama dengan judul “Dugaan Pungli di Satlantas Polresta Mataram, Surat Kecelakaan Harus Bayar”, juga dialami wartawan tribunlombok.com Jimmy Sucipto yang menulis berita dengan judul “Kapolresta Mataram Klarifikasi Soal Dugaan Pungli Pengurusan Surat Keterangan Kecelakaan”. Tiga berita itu terbit Tanggal 22 dan 23 November 2022.

Berita yang ditulis tiga jurnalis itu berdasarkan fakta atas keluhan keluarga korban kecelakaan lalulintas yang diduga dimintai uang Rp1 juta hingga Rp2,5 juta oleh oknum anggota Unit Laka Sat Lantas Polresta Mataram untuk mendapatkan surat keterangan kecelakaan. Berita tersebut dipastikan sudah memenuhi kaidah jurnalistik dan memenuhi asas keberimbangan karena telah terkonfirmasi langsung kepada Kapolresta Mataram, Kombes Pol. Mustafa.

Namun sejak berita itu diturunkan, berturut turut selama dua hari terakhir mereka ditekan agar berita itu dihapus, baik oleh oknum di Polresta Mataram maupun pihak pihak lain di luar kepolisian.

Ketua AJI Mataram, Muhammad Kasim menyesalkan dan mengecam tindakan oknum anggota kepolisian yang melakukan intimidasi dan memanggil secara paksa tiga jurnalis sebagai saksi atas dugaan pungli di Unit Laka Lantas Polresta Mataram. Semestinya, berita yang ditulis oleh wartawan NTBSatu.com, Vivanews.com dan TribunLombok.com dijadikan acuan oleh Bidang Propam Polda NTB, untuk melakukan investigasi dan penindakan terhadap oknum anggota Unit Laka Lantas Polresta Mataram yang diduga melakukan pungli.

“Jadi bukan wartawan yang dipanggil untuk di periksa sebagai saksi atas kasus dugaan pungli tersebut,” tegasnya Kasim dikonfirmasi, Jumat (25/11).

Ia menegaskan, siapapun tidak boleh menghalang-halangi tugas jurnalis, karena pers nasional memiliki hak mencari,menulis,dan menyebarluaskan informasi ke publik. Perbuatan meminta menghapus berita adalah termasuk menghalang-halangi kerja jurnalistik yang dilindungi Undang Undang. Setiap perbuatan semacam itu, dapat dipidana sesuai dengan Pasal 18 ayat (1) UU Pers. Isinya, menyatakan, bahwa setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp.500.000.000

“Kerja jurnalis itu dilindungi undang-undang dan orang yang menghalangi bahkan mengintimidasi ancamanya pidana,” kata Cem, sapaan Muhammad Kasim mengingatkan.

Sekertaris AJI Mataram, Wahyu Widiantoro menambahkan, seharusnya jika ada pihak yang merasa dirugikan atas pemberitaan tersebut, dapat menempuh mekanisme yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dimana, dalam Pasal 5 ayat 2 dan 3 mewajibkan pers melayani hak jawab dan hak koreksi. Selain itu, mekanisme hak jawab juga diatur dalam pasal 11 kode etik jurnalistik.

Bukan berarti masyarakat yang merasa keberatan atas pemberitaan kemudian meminta menurunkan berita yang ditayangkan.

“Mekanisme hak jawab dan hak koreksi sudah diatur dalam Undang-Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Mekanisme ini harus dipahami oleh semua masyarakat maupun aparat penegak hukum. Jadi tidak seenaknya orang meminta men-take down berita yang sudah dimuat oleh media,” sesalnya.

Ia juga mengingatkan, jurnalis berhak memberikan hak tolak sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Pers untuk melindungi narasumber. Tindakan itu bukan berarti jurnalis tidak kooperatif terhadap pemanggilan oleh aparat penegak hukum. (HAK)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button