Mataram (NTB Satu) – Perusakan terhadap hutan saat ini menjadi ancaman serius bagi Indonesia, termasuk di Provinsi NTB. Pembalakan liar atau illegal logging masih marak terjadi di NTB. Tak hanya pembalakan liar, ada juga ancaman lainnya yang tak kalah mengkhawatirkan yakni perambahan hutan atau pendudukan suatu kawasan hutan untuk dijadikan areal lain, baik perkebunan, pertanian, pertambangan, dan lainnya.
Menurut Kepala Bidang Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi NTB, Mursal S.P., M.Si., perambahan hutan milik negara sebagai lahan tanaman produksi masih marak terjadi NTB, terlebih lagi di bagian Kabupaten Bima dan Kabupaten Dompu.
“Perambahan selalu disertai dengan pembakaran, itu di satu lokasi bisa mencapai ratusan hektare dan bisa mematikan ekosistem, karena yang melakukan itu ribuan orang. Paling parah terjadi di Kabupaten Bima dan Dompu,” kata Mursal pada Sabtu, 14 Mei 2022.
Para perambah ini, lanjut Mursal, sering melakukan aksinya pada saat tengah malam. Mereka membuat lingkaran api di areal yang sudah mereka tentukan. Namun saat kondisi angin sedang kencang, seringkali membuat bunga api beterbangan ke areal lain sehingga menyulut kebakaran yang tak terkendali.
Saat ini, para pelaku perambahan tersebut dicurigai mulai bergerak dan mengincar hutan di kawasan Kabupaten Sumbawa, karena di tempat sebelumnya sudah menipis.
“Sekarang mulai bergerak mereka ke Sumbawa. Mungkin nanti wilayah di Sumbawa ini ditandai oleh warga lokal dan diserahkan kepada pendatang dari wilayah timur itu,” ujarnya.
Banyak faktor menjadi menyebab terjadinya pelanggaran tersebut, mulai dari anggaran untuk perlindungan hutan yang tidak mencukupi, jumlah polisi hutan yang terlalu sedikit, keserakahan oknum masyarakat, mafia tanah, hingga perizinan penggunaan kawasan hutan yang mudah diobral.
Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi NTB. Pada tahun 2020, sebanyak 23,218.61 hektare lahan di NTB dalam kondisi sangat kritis, sebanyak 154,358.31 hektare dalam kondisi kritis, 400,730.46 hektare dalam kondisi agak kritis, dan 1,275,700.48 hektare potensial kritis. Jumlah itu, munurut Mursal sangat memprihatinkan.
Segala macam dampak dapat ditimbulkan apabila hutan dalam kondisi kritis, seperti banjir saat musim hujan, kekeringan dan kepanasan saat musim kemarau, kepunahan spesies, hingga perubahan iklim.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk menanggulangi masalah tersebut, namun tak kunjung memuaskan. Karena itu, DLHK Provinsi NTB berencana akan membentuk Satgas gabungan dari berbagai instansi untuk melakukan pengamanan hutan, seperti dari TNI, Kepolisian, dan BIN. (RZK)