Mataram (NTB Satu) – Gang Ester di Lingkungan Melayu Tengah, Kelurahan Ampenan Tengah, Kecamatan Ampenan, Kota Mataram dipenuhi oleh aroma daging babi kering, yang bersumber dari rumah orang-orang Tionghoa dan Bali pada suatu siang yang terik, Senin, 4 April 2022. Masyarakat tampak berlalu lalang di gang itu, baik dari arah utara, maupun dari arah selatan. Sebab, gang tersebut merupakan jalan pintas ke Pasar Rakyat ACC Ampenan dari arah utara.
Gang Ester sering disebut sebagai Gang Bawi atau babi oleh masyarakat. Nama itu dipilih karena banyak penduduk yang menjual daging babi di gang tersebut. Mayoritas pedagang daging babi di Gang Ester, diisi oleh masyarakat Tionghoa dan Bali. Para pedagang yang berjualan di Gang Ester telah berjualan sejak tahun 1960 hingga kini. Rata-rata, para pedagang daging babi menjual dagangan mereka dengan harga relatif murah dari Rp20.000 sampai Rp50.000.
Selain aktivitas masyarakat melintas serta para pedagang yang menjual daging babi, Gang Ester juga terkenal sebagai lokasi jual-beli emas mulai dari jumlah kecil hingga besar. Hal yang menarik dari aktivitas jual-beli emas tersebut ialah cara para pembeli emas berlari tergopoh-gopoh mengejar masyarakat yang nyatanya tidak ingin menjual emas. Terkadang, para pembeli emas itu tetap menanyakan hal sama, walaupun yang ditawari telah memberi jawaban tidak menjual emas.
Pembeli emas, Beny (60) berujar, Gang Ester mulai disebut sebagai Gang Bawi sejak tahun 1960-an. Namun, seiring berjalannya waktu, pedagang daging babi di areal Gang Ester perlahan-lahan mulai berkurang.
“Dulu, dari arah muka gang dipenuhi oleh para pedagang daging babi. Oleh karena itu, gang ini disebut sebagai gang babi. Tapi, sekarang sudah mulai berkurang. Banyak pedagang yang mulai berhenti jualan dan tidak tahu pindah ke mana,” cerita Beny, ditemui NTB Satu, Senin, 4 April 2022.
Bersama sang istri, Beny melakoni pekerjaan sebagai pembeli emas sejak tahun 1980. Selayaknya hukum jual-beli, Beny kerap mendapat untung besar, juga kerap mendapat rugi besar. Kerugian Beny, biasanya terjadi karena adanya praktik curang dari penjual emas palsu.
“Rata-rata para pembeli emas dengan jumlah yang besar, berasal dari Sekarbela. Setelah kami nanti beli emas dari penjual, kami biasanya jual lagi kepada bos besar yang di Sekarbela. Kami tidak berani menyimpan emas terlalu lama. Soalnya, harga emas itu naiknya cepat, tapi, turunnya juga cepat,” jelas Beny.
Pada bulan Ramadan, Beny mengatakan, penjual emas kerap sepi dan akhirnya untung yang didapat Beny, lebih sedikit dari biasanya. Sebab, masyarakat cenderung ingin mengenakan emas mereka pada perayaan lebaran nanti. Di luar bulan Ramadan, keuntungan Beny bisa mencapai lima juta rupiah per hari.
“Kalau ada orang yang jual lebih dari 300-500 gram dan saya tidak punya modal untuk membelinya, saya bakal langsung hubungi bos yang di Sekarbela itu. Dari dia, nanti saya pasti dapat persenan yang lumayan,” ungkap pria yang berasal dari kampung Otak Desa, Kelurahan Dayen Peken, Kecamatan Ampenan, Kota Mataram ini.
Satu kampung dengan Beny, Hani, yang juga merupakan pembeli emas, memulai pekerjaannya sejak tahun 2010. Sedikit berbeda dengan Beny, Hani memburu penjual emas melalui media sosial. Selain itu, ia turut mempromosikan barang dagangannya melalui media sosial.
“Saya tidak berani membeli emas dengan jumlah yang besar. Saya hanya pemain kecil. Keuntungan paling besar yang pernah saya dapatkan, cuma 200 ribu rupiah,” kata Hani, ditemui NTB Satu, Senin, 4 April 2022.
Sama seperti Beny, bila Hani menemukan penjual emas dengan jumlah yang besar, Hani akan langsung menghubungi pembeli-pembeli yang berasal dari Sekarbela. Dari sana, Hani pun mendapat persenan.
Begitulah sekelumit kisah dari Gang Ester, yang orang-orangnya, dengan langkah tergopoh-gopoh menawari emas kepada masyarakat yang melintas di areal gang itu. (GSR)