Pemerintahan

Direktur PKTHA Julmansyah Sebut NTB Laboratorium Perhutanan Sosial

Jakarta (NTBSatu) – Pengalaman panjang di bidang kehutanan telah membawa Julmansyah S.Hut., M.A.P., sebagai seorang birokrat karier dari tingkat daerah hingga ke tingkat nasional.

Dengan latar belakang 8 tahun sebagai Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), yaitu Kepala KPH Batulanteh Sumbawa tahun 2011-2018, kemudian di 2018-2019 sebagai Kepala KPH Ampang Plampang, dan selanjutnya karier Julmansyah beralih ke tingkat provinisi. Terakhir, ia menjabat sebagai Kepala Dinas LHK NTB.

Ia kini, mengemban amanah di Direktorat Jenderal Kehutanan Sosial sebagai Direktur Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat (PKTHA) Kementrian Kehutanan RI.

“Ya, memang passion saya urus rakyat. Sehari-hari kita urus rakyat. Jadi teman-teman di sini, menyambut saya sangat positif karena memang sudah kenal lebih awal,” terangnya kepada NTBSatu di ruangannya, Rabu, 26 Januari 2025.

Dalam refleksinya, Julmansyah menyoroti peran strategis NTB dalam pembangunan kehutanan di Indonesia. Menurutnya, NTB merupakan salah satu provinsi pertama yang mengadopsi pendekatan KPH dalam pengelolaan hutan, jauh sebelum provinsi lain menerapkannya.

IKLAN

“Dulu NTB menjadi kiblat pembelajaran KPH di Indonesia. Pengalaman di NTB itu sangat berharga, karena kita kenyang di lapangan. Saya kira meskipun provinsi kecil, tapi banyak pelajaran dari NTB. Nah itu kesan saya,” ungkapnya.

Sejarah Panjang NTB dalam Perhutanan Sosial

Selain itu, bagi Julmansyah, NTB memiliki sejarah panjang dalam perhutanan sosial. Sejak era 1990-an, kawasan Sesaot telah menjadi laboratorium perhutanan sosial, bahkan sebelum adanya regulasi resmi dari Kementerian Kehutanan.

“Model ini kemudian berkembang ke Batukliang dan Santong di Lombok Utara, menjadikan NTB sebagai pusat pembelajaran hutan berbasis masyarakat,” ujarnya.

Keberhasilan NTB dalam menerapkan konsep imbal jasa lingkungan juga menjadi sorotannya. Dulu, Julmansyah mengatakan, mekanisme kompensasi antara pengguna air PDAM dengan masyarakat penjaga hutan di Sesaot telah berjalan.

“Kota Mataram dan Lombok Barat memberikan kompensasi kepada Sesaot sebagai sumber air PDAM. Sayangnya, seiring perubahan kewenangan dari kabupaten ke provinsi, inisiatif tersebut sempat terhenti,” tuturnya.

Saat ini, upaya untuk menghidupkan kembali mekanisme imbal jasa lingkungan terus dilakukan. Sebagai Sekretaris Jenderal Asosiasi KPH Indonesia, Julmansyah akan mendorong peran masyarakat dalam pengelolaan hutan berkelanjutan.

“Lombok memiliki banyak ragam inovasi kehutanan sosial. Ide-ide dari NTB telah menjadikannya pusat perhatian bagi pegiat kehutanan, baik dari pemerintahan maupun organisasi non-pemerintah,” pungkasnya. (*)

Alan Ananami

Jurnalis Nasional

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button