DEPTH NEWS

Ketika Lombok Mengguncang Eropa, Lewat Letusan Samalas

Mataram (NTB Satu) – Sekelompok peneliti baru-baru ini mengukur dampak letusan Gunung Samalas di Lombok, NTB. Hasilnya memperkuat temuan-temuan awal. Dimana, letusan gunung megavulkanik ini memberi dampak dahsyat, dengan skala yang super kolosal. Mengubah iklim bumi dalam jangka waktu yang cukup lama.

Dalam studi yang dilakukan Bin Liu dan enam peneliti lainnya tersebut, disimpulkan bahwa letusan Samalas telah memberikan dampak perubahan iklim yang dramatis, terutama pada musim panas di benua Eropa.

“Seluruh Eropa dan masing-masing sub-regionalnya, mengalami pendinginan yang sangat signifikan di musim panas, dalam tiga tahun pertama setelah erupsi Samalas,” tulis mereka dalam laporan yang dirilis pada November 2020 lalu.

Seperti yang telah dihasilkan dalam sejumlah penelitian sebelumnya, Erupsi Samalas memang memuntahkan letusan yang teramat dahsyat. Kedahsyatannya, terkonfirmasi dari kekuatan erupsi dan ledakan vulkaniknya yang mencapai skala 7.

Ilmuwan melakukan pengukuran dengan Volcanic Explosivity Index (VEI) yang merentang antara 0 hingga 8 untuk mengklasifikasi tingkat kedahsyatan letusannya. Skala 0 merupakan yang terendah dan 8 yang tertinggi.

VEI mengkombinasikan kalkulasi terhadap sejumlah variabel. Antara lain, berapa banyak material vulkanik yang terlontar, seberapa tinggi lontarannya dan berapa lama erupsinya berlangsung. Skala ini disusun berdasarkan algoritma dari skala 2 hingga skala di atasnya, dengan perhitungan bahwa setiap peningkatan 1 indeks menandakan tingkat erupsi yang 10 kali lebih kuat.

Sekedar perbandingan, erupsi Gunung Sinabung di Karo, Sumatera Utara pada 2010 lalu, VEI-nya hanya mencapai skala 2. Erupsi Gunung Galunggung pada 1982, Merapi pada 2010, dan Gunung Kelud pada 2014, hanya mencapai skala 4. Sementara, Letusan Gunung Krakatau pada 1883 silam, diklasifikasikan pada skala 6.

Di Indonesia, Letusan Samalas berada dalam skala VEI yang setara dengan letusan Gunung Tambora pada 1818. Sementara, rekor skala tertinggi adalah letusan Toba yang diperkirakan terjadi pada 74.000 sebelum masehi.

Nama Samalas mulai masuk dalam peta letusan vulkanik super dahsyat sejak 2013 lalu, ketika sebuah penelitian yang dilakukan Franck Lavigne dari Universite Paris Pantheon-Sorbonne bersama 14 peneliti lain mulai dipublikasikan.

Penelitian yang juga melibatkan para pakar geologi dari Indonesia ini, melacak sumber dari jejak vulkanik pada lapisan es di Antartika dan Greenland.

Jejak vulkanik ini menarik perhatian karena hitungan penanggalan karbonnya tidak cocok dengan catatan-catatan sebelumnya, seperti letusan Krakatau pada 1883 dan Tambora pada 1885.

“Penelitian ini menyimpulkan bahwa sumber letusan ini adalah gunung berapi Samalas, bagian dari Kompleks Vulkanik Gunung Rinjani di Pulau Lombok, Indonesia. Hasil ini memecahkan teka-teki yang membingungkan para ahli glasiologi, vulkanologi, dan klimatologi selama lebih dari tiga dekade,” tulis para peneliti dalam kesimpulan mereka.

Letusan Samalas diperkirakan terjadi pada 1257 atau 1258. Selama masa erupsinya, Samalas menyuntikkan gas vulkanik dan abu halus ke lapisan stratosfer bumi. Letusan ini berkontribusi pada pendinginan global di permukaan bumi dan mengikis secara dramatis, lapisan ozon.

Tidak berlebihan jika disebutkan bahwa, erupsi Samalas tersebut telah memutar sejarah bumi kembali ke “zaman es kecil”.

“Kami menggunakan pendekatan geokimia independen yang menunjukkan bahwa letusan besar Samalas 1257 (Lombok, Indonesia) melepaskan cukup banyak gas belerang dan halogen ke stratosfer untuk menghasilkan pendinginan global yang dilaporkan selama paruh kedua abad ke-13, serta potensi substansial perusakan ozon,” tulis Bin Liu dkk dalam laporannya.

Sejumlah penelitian juga mengungkapkan temuan yang selaras, dimana Eropa mengalami musim panas yang luar biasa dingin setelah letusan gunung berapi mega Samalas. “Suhu udara di permukaan bumi pada musim panas berubah di Benua Eropa setelah letusan Samalas. Perubahan ini terutama disebabkan oleh melemahnya gelombang pendek secara langsung, akibat radiasi matahari yang dipicu oleh aerosol vulkanik Samalas.

Simulasi yang dilakukan juga memperlihatkan pusat peningkatan curah hujan di semenanjung Balkan dan Apennine di sepanjang Pantai Mediterania di atas Eropa Selatan.

Temuan tersebut, selaras dengan kisah-kisah abad abad pertengahan Eropa yang menceritakan adanya curah hujan yang tak henti-hentinya pada tahun 1258. Kondisi tersebut membuat masyarakat Eropa berada dalam ancaman kemanusiaan yang sangat menakutkan.

Buah-buah tak lagi bisa matang, dan tentu saja ini mengakibatkan krisis pangan yang parah. Tantangan untuk bertahan hidup dari iklim yang demikian, tak urung memicu tatanan multi dimensional di Eropa Selatan. Mengguncang Kekaisaran Romawi Suci dan masyarakat di Semenanjung Iberia.

Di tanah asalnya, Lombok, letusan Samalas tentu saja membawa konsekuensi yang lebih serius. Kisah letusan Samalas ini, terekam oleh Babad Lombok.

Tujuh hari lamanya, gempa dahsyat meruyak bumi, terdampar di Leneng (lenek), diseret oleh batu gunung yang hanyut, manusia berlari semua, sebahagian lagi naik ke bukit.

Bersembunyi di Jeringo, semua mengungsi sisa kerabat raja, berkumpul mereka di situ, ada yang mengungsi ke Samulia, Borok, Bandar, Pepumba, dan Pasalun, Serowok, Piling, dan Ranggi, Sembalun, Pajang, dan Sapit.

Di Nangan dan Palemoran, batu besar dan gelundungan tanah, duri, dan batu menyan, batu apung dan pasir, batu sedimen granit, dan batu cangku, jatuh di tengah daratan, mereka mengungsi ke Brang batun.

Ada ke Pundung, Buak, Bakang, Tana’ Bea, Lembuak, Bebidas, sebagian ada mengungsi, ke bumi Kembang, Kekrang, Pengadangan dan Puka hate-hate lungguh, sebagian ada yang sampai, datang ke Langko, Pejanggik.

Semua mengungsi dengan ratunya, berlindung mereka di situ, di Lombok tempatnya diam, genap tujuh hari gempa itu, lalu membangun desa, di tempatnya masing-masing.

Babad Lombok, yang menarasikan kisah letusan Gunung Samalas, menjadi bukti historiografi yang memperkuat temuan penanggalan radiokarbon yang dilakukan Tim Lavigne dkk. Lavigne bahkan menyertakan naskah Babad Lombok ini dalam naskah publikasi penelitiannya.

Setelah muntah-muntah dan membuat dunia terguncang, Samalas kini hanya menyisakan tiga ikon geologis yang menjadi berkah bagi generasi penerusnya. Yaitu, Gunung Rinjani, Danau Segara Anak dan Gunung Barujari di tengahnya.

Berabad-abad setelah masa sulit itu, lahirlah para milenial dan generas-generasi berikutnya. Mereka datang ke Rinjani dengan membawa berbagai urusan dan keinginan. Tampaknya tidak semua mengetahui, bahwa di balik keindahan gunung yang mereka unggah di akun Instagram mereka, tersimpan sebuah sejarah yang menggetarkan. (al)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button