Mataram (NTBSatu) – Dugaan penganiayaan santri pondok pesantren atau Ponpes Al Aziziyah Gunungsari, Lombok Barat inisial NI membuat sejumlah pihak geram.
Salah satunya datang dari Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) NTB. Kementerian agama kena sentil. Desak ponpes bentuk Satgas PPKS.
Kepala Dinas P3AP2KB NTB, Nunung Triningsih menyayangkan terjadinya di lingkungan pondok pesantren. Menurutnya, dengan alasan apapun, tindakan tersebut tidak bisa dibenarkan.
“Saya selaku Kepala DP3AP2KB sangat perihatin dengan kejadian kekerasan di Ponpes tersebut,” katanya dengan nada geram menjawab NTBSatu, Rabu, 26 Juni 2024.
Pondok pesantren yang notabenenya sebagai sekolah keagamaan, sambung Nunung, saat ini diwarnai beberapa fenomena yang merugikan santri.
Selain maraknya kekerasan seksual, sekarang ada juga tindakan penganiayaan. Menurut Nunung, jika terus begini akan menimbulkan kekhawatiran bagi orang tua. Dan ujungnya menurunkan kepercayaan masyarakat.
“Padahal, kita tahu bahwa tujuan orang tua menyekolahkan anaknya di Ponpes adalah selain mendapatkan pelajaran umum, anak-anak juga mendapat pelajaran agama yang lebih mendalam,” ucap Nunung.
Desak Ponpes Bentuk Satgas PPKS
Karenanya dia berharap, pihak Ponpes di NTB, khusunya Al Aziziyah lebih memaksimalkan pemberian rasa aman dan nyaman bagi seluruh penghuninya. Tidak saja kepada santri, tapi seluruh warga di lingkungan pondok pesantren. Ke depannya, jangan sampai ada NI lain menjadi korban tindakan tak terpuji tersebut.
“Lebih-lebih terhadap anak di bawah umur,” katanya mengingatkan.
Salah satu cara meminimalisir terjadinya kejadian serupa adalah membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan atau Satgas PPKS di Ponpes. Menurut kepala dinas, cara itu bisa memaksimalkan pengamanan santri dari peristiwa kekerasan seksual dan penganiayaan.
Saran lain, pengurus bisa membentuk sistem pondok ramah anak dengan melakukan sosialisasi secara masif untuk kekerasan di lingkungan ponpes. “Serta memasang Cctv di setiap sudut,” ujarnya.
Sentil Kementerian Agama
Sebelumnya, Kepala Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Lombok Barat, Haryadi Iskandar mengaku, kejadian kekerasan di Ponpes khususnya kerap kali terjadi. Namun, pihaknya jarang mengetahui secara langsung. Alasannya, karena informasi terkesan ‘tertutup’.
“Karena informasi yang terjadi di sana dijaga betul, supaya tidak keluar-keluar. Namanya pondok itu tembok yang terjaga, rapi, banyak yang seharusnya tidak dikeluarkan. Sehingga kita yang di luar, tidak mengetahui,” kelitnya.
Haryadi Iskandar pihaknya turun langsung ke Ponpes Al Aziziyah untuk mengetahui informasi dugaan penganiayaan tersebut.
Karenya, Nunung mendesak Kemenag setempat agar terus melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap satuan pendidikan yang ada di bawahnya. Kemenag jangan hanya menunggu laporan dari masyarakat atau menunggu kasus viral, tapi juga aktif turun ke lapangan melakukan pengawasan.
Lebih jauh dia mengingatkan, selain mengawasi, Kemenag juga harus menjatuhi sanksi kepada pondok pesantren yang menyimpang atau tidak memenuhi aturan. “Termasuk mencabut izin jika terus terjadi kekerasan secara berulang-ulang,” jelas Nunung.
Melihat maraknya kasus yang keluar dari ponpes, Dinas P3AP2KB NTB dalam waktu dekat akan bertemu dengan sejumlah pihak terkait, terutama Kemenag dan Dikbud. Mereka rencananya akan melakukan sosialisasi soal pencegahan kekerasan terhadap anak di madrasah dan ponpes.
Nunung mengaku, pihaknya siap memberikan pendampingan psikologis kepada korban jika diperlukan. Caranya dengan melaporkan kekerasan santri ke Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak alias UPTD PPA DP3AP2KB.
Kembali dia mengingatkan, jika pemenuhan hak dan perlindungan khusus harus anak dapatkan. Jika terjadi kekerasan, segera laporkan agar korban mendapat pendampingan psikologis.
“Dan pelaku mendapat ganjaran pidana sesuai aturan hukum yang berlaku,” pungkasnya.
LPA apresiasi proses hukum yang berjalan
Buntut dugaan penganiayaan yang NI alami, pihak keluarga mengadukan kejadian tersebut kepada pihak Reskrim Polresta Mataram. Polisi telah akan melakukan memeriksa sejumlah pihak, seperti pihak ponpes, rumah sakit, dan keluarga korban. Kasusnya masih berjalan di tahap pengumpulan bahan keterangan.
“Kalau cukup bukti, kita gelar, kita tingkatkan ke laporan polisi. Lalu, kita lanjutkan ke sidik,” kata Kasat Reskrim Polres Mataram, Kompol I Made Yogi Purusua Utama.
Kuasa hukum NI, Yan Mangandar mengapresiasi dan mendukung langkah Polresta Mataram melakukan proses penyelidikan dugaan kekerasan tersebut. Terutama pengusutan kondisi korban. “Dengan tidak hanya bersandar pada hasil rekam medis, tapi juga memeriksa saksi di pondok pesantren,” ucapnya.
Karena hasil penyelidikan nantinya akan mengetahui ada atau tidaknya peristiwa pidana dugaan penganiayaan. Juga untuk mengetahui sejauh mana keterlibatan ponpes, apakah ada unsur kesengajaan atau kelalaian mengabaikan kewajibannya untuk melindungi anak korban. Apalagi dugaan penganiayaan diketahui orang tua korban. Bukan dari pengurus ponpes.
“Padahal kondisi kritis sudah tidak mampu bergerak,” ungkap Yan.
Hal inilah yang membuat Mahmud, orang tua anak korban merasa kecewa. Sang ayah dengan tegas menolak tawaran damai dari ponpes. Keluarga tetap mendesak kasus ini terus berjalan di proses hukum.
Korban saat ini, sambung Yan, selain mendapatkan bantuan hukum dari koalisi, juga sudah mendapat pendampingan dari UPTD PPA Lombok Timur dan Peksos Dinas Sosial Lombok Timur.
“Kami juga mengapresiasi pelayanan terbaik yang diberikan pihak RSUD Dr Soedjono Selong kepada anak korban,” tutup pengacara publik Pusat Bantuan Hukum Mangandar (PBHM) NTB ini.