Mataram (NTBSatu) – Direktur Badan Konsultasi dan Bantuan Hukum (BKBH) Unram, Joko Jumadi menyebut ada beberapa fakta dalam penanganan dugaan pelecahan seksual oknum manajer hotel Lombok Utara terhadap mahasiswi Unram.
Fakta pertama, ternyata ada dua korban yang melaporkan ke Sat Reskrim Polresta Lombok Utara terkait kasus dan terduga pelaku yang sama.
“Yang lapor di Polres Lombok Utara ada dua orang dengan pelaku yang sama,” kata Joko kepada NTBSatu, Kamis, 9 Mei 2024.
Selain itu, kamera CCTV di lokasi kejadian korban dilecehkan tiba-tiba dinyatakan rusak.
Fakta berikutnya, ada saksi yang menyatakan bahwa dia melihat kejadian oknum manajer hotel memeluk dan memegang tubuh korban.
Selain itu, pelaku sempat meminta maaf dan mengaku khilaf kepada korban, ibu korban, anak Kades Senaru dan seorang anggota DPRD Lombok Utara. “Pernyataan maaf tersebut ada potongan rekamannya,” ucap akademisi Unram ini.
Fakta lain adalah, rekaman video yang memperlihatkan terduga pelaku diduga mengelus tubuh karyawannya. Belakangan diketahui, bahwa perempuan tersebut merupakan istri sah orang lain. Menurut Joko, ini seharusnya diperhatikan dan dipertimbangkan kepolisian.
“Bisa menjadi petunjuk bahwa si pelaku mungkin memiliki kebiasaan cabul terhadap perempuan,” jelasnya.
Berikutnya, pihak kepolisian tidak memeriksa saksi testimonium de auditu atau keterangan karena mendengar dari orang lain. Termasuk berupaya memanggil dan meminta keterangan ahli.
Polisi pun dinilai tidak aktif dalam mencari alat bukti, juga melakukan pemeriksaan psikologi kepada korban maupun terduga pelaku.
“Polisi juga tidak mempertimbangkan adanya rekaman pengakuan pelaku yang menyatakan khilaf melalukan hal tersebut. Padahal pengakuan tersebut, selain ada rekamannya, juga ada tiga orang yang menjadi saksi,” bebernya.
Berangkat dari hal itu, Direktur BKBH Unram ini menyimpulkan bahwa pihak Polres Lombok Utara, khususnya bidang Unit PPA tidak profesional dalam penanganan kasus dugaan pencabulan.
Melihat kurang sigapnya Polres Lombok Utara, menurut Joko, pihak Polda NTB seharusnya mengevaluasi kinerja personelnya tersebut.
“Untuk kasus kekerasan seksual yang menimpa korban dan beberapa orang lainnya yang dilaporkan ke Polres Lombok Utara, seharusnya diambil alih oleh Polda NTB,” tegasnya.
Diketahui, korban sekaligus mahasiswi Unram ini juga ditetapkan sebagai tersangka dugaan kasus pelanggaran ITE, akibat mengunggah postingan tentang pelaku di akun Facebook miliknya.
Untuk kasus ITE, kata Joko, sementara didampingi aliansi dari berbagai organisasi, seperti Walhi NTB, BKBH FHISIP UNRAM dsn PBHM NTB (Suara Pembelaan Untuk Perempuan Korban UU ITE / SEPAK ITE NTB). Kemudian mendapat dukungan dari Tokoh Adat Bayan dan Safenet.
“Sedangkan kasus kekerasan seksual, dikoordinir Satgas PPPKS Unram. Rencananya mau tetap memakai Kompaks (Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual) NTB,” bebernya.
Sementara Kasat Reskrim Polres Lombok Utara, Iptu Ghufron Subeki Meski mengaku bahwa penanganan kasus ini terkendala kurangnya alat bukti. Hal itu saat kepolisian menggelar perkara untuk meningkatkan status dari penyelidikan ke tahap penyidikan.
Sejak dilaporkan, kasus ini telah memeriksa sejumlah pihak. Termasuk pelapor yang merupakan mahasiswi Unram, terlapor, dan saksi lainnya.
Namun menurut kepolisian, keterangan antar saksi tersebut tidak ada yang sejalan. “Kalau CCTV, memang ada CCTV. Tapi yang mengarah langsung ke tempat kejadian, belum ada kami temukan,” jelasnya.
Senada dengan itu, Kasi Humas Polres Lombok Utara, Ipda Made Wiryawan menyebut kasus ini tidak bisa diteruskan, karena pihaknya terkendala alat bukti.
“Jadi waktu kami lakukan gelar perkara untuk naik ke sidik (penyidikan), kami kekurangan syarat, seperti kurang alat bukti. Pihak PPA Polda (NTB) juga sudah turun kemarin,” ujarnya.
Sebagai informasi, korban bersama dua temannya menjalani Praktek Kerja Lapangan (PKL) pada salah satu hotel di Lombok Utara.
Korban pun menjalani PKL pada salah satu hotel di KLU tersebut. Belum beberapa lama masuk, korban sudah melihat kebiasaan yang tidak bagus yang dilakukan oleh manajer hotel, seperti suka merendahkan martabat pegawai perempuan (pelecehan seksual). Baik verbal maupun fisik.
“Sering mengalami, tetapi sekitar 4 kali yang bisa diingat oleh korban, baik itu pelecehan seksual berupa verbal maupun fisik,” kata Ketua Pusat Bantuan Hukum Mangandar (PBHM) NTB, Yan Mangandar, Senin, 6 Mei 2024.
Karena merasa tidak nyaman dengan kebiasaan itu dan kondisi mental sudah sedikit terguncang, korban pun mengundurkan diri dari kegiatan PKL tanpa persetujuan manajer.
Dua temannya yang masih PKL mencari korban ke rumahnya dan menanyakan alasannya tak pernah masuk. Lalu, korban menceritakan pelecegan seksual yang dialaminya.
“Ternyata salah satu teman PKLnya itu juga mengalami hal serupa, malah lebih parah dari korban. Akhirnya terungkap, ada korban lain,” tambah Yan.
Kejadian itu akhirnya dilaporkan ke Polres setempat. Dari pemeriksaan yang dilakukan, penyidik Polres Lombok Utara menyimpulkan tidak cukup bukti untuk melanjutkan penyelidikan kasus ini ke tingkat penyidikan. (KHN)