Mataram (NTB Satu) – Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi NTB meminta aturan pengeras suara masjid dan musala yang diatur melalui Surat Edaran (SE) Nomor 05 Tahun 2022 saat bulan Ramadan tidak terlalu ketat. Aturan tersebut diminta agar diterapkan fleksibel sesuai komposisi masyarakat dalam suatu lingkungan.
Ketua MUI Provinsi NTB, K.H. Saiful Muslim ditemui di ruang kerjanya, Rabu, 30 Maret 2022 menyarankan agar aturan tersebut dibuat lebih fleksibel dengan mempertimbangkan komposisi masyarakat dalam suatu lingkungan. Terlebih lagi bulan ramadan bukanlah suatu hal baru bagi umat Islam.
“Tidak usah terlalu ketat dalam memberikan aturan, karena bukan hanya kali ini kita memasuki bulan suci ramadan, tetapi sudah dari zaman dahulu. Jadi, tanpa diberi tahu, kita sudah tahu batasan-batasannya,” ujar Saiful Muslim.
Seperti diketahui, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menerbitkan Surat Edaran (SE) Menteri Agama Nomor 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala. Beberapa ketentuannya antara lain penggunakan pengeras suara luar hanya untuk azan, iqamah, dan tartil Al-Qu’ran dengan volume maksimal 100 desibel, dan dengan waktu paling lama 10 menit.
Sedangkan untuk melakukan dzikir/doa para imam salat, tahlilan, puji-pujian, barzanji, nasyid, lagu-lagu religi, dan sejenisnya, hendaknya menggunakan pengeras suara dalam saja. Surat edaran tersebut banyak menuai kritik dari berbagai pihak.
Dalam surat edaran tersebut, disebutkan juga penggunaan pengeras suara di bulan Ramadan, baik dalam pelaksanaan salat tarawih, ceramah/kajian Ramadan, dan tadarrus Al-Qur’an menggunakan pengeras suara dalam. Takbir pada tanggal 1 Syawal/10 Zulhijjah di masjid/musala dapat dilakukan dengan menggunakan pengeras suara luar sampai dengan pukul 22.00 waktu setempat dan dapat dilanjutkan dengan pengeras suara dalam. Pelaksanaan Salat Idul Fitri dan Idul Adha dapat dilakukan dengan menggunakan pengeras suara luar.
Saiful Muslim mengimbau kepada pemimpin di segala level pemerintahan supaya bijaksana dalam mengambil kebijakan. Dengan begitu, kepentingan dari segala kalangan dapat terakomodir dengan baik.
“Kita perlu istirahat, orang lain juga perlu, jadinya harus ada batasan. Saya kira kalau di lokasi yang tidak murni semua penduduk beragama Islam, kita perlu memahami. Kepala Lingkungan juga perlu mengatur supaya tidak berlebihan saat membangunkan sahur, dengan memukul ember dan segala macam, walaupun tujuannya baik,” imbuh Saiful.
Ia juga mengajak kepada seluruh umat Islam agar menyambut bulan ramadan dengan penuh kegembiraan. Karena saat ini kasus pandemi sudah melandai, sehingga memungkinkan segala ritual keagamaan dijalankan secara normal.
“Mari kita sambut dengan sukacita dan gembira, sudah dua tahun kita tidak bisa menyambutnya secara bersama-sama, dan sekarang kita sudah bisa melukan aktivitas yang menyertai ibadah bulan ramadan ini,” pungkasnya. (RZK)