OpiniWARGA

Bencana Banjir: Buah Kepongahan dan Kesombongan

Oleh: Fuaduddin,S.Pd.M.Pd – Dosen Universitas Muhammadiyah Bima 

Dua minggu terakhir hujan mengguyur wilayah Kota dan Kabupaten Bima. Dalam waktu yang relatif singkat ini, bencana banjir di Kota dan Kabupaten Bima sudah terjadi. Bulan November merupakan awal musim hujan berdasarkan siklus musim yang biasa terjadi di daerah khatulistiwa. 

Seperti di Indonesia. Memang dalam satu dekade ini, siklus musim hujan dan musim panas di Indonesia tidak begitu jelas kapan dimulai dan berakhir. Namun, intensitas hujan di wilayah Kota dan kabupaten Bima tahun ini baru terjadi dalam waktu dua minggu terakhir. 

Hanya dalam beberapa hari diguyur hujan, banjir sudah terjadi di beberapa wilayah kota dan kabupaten Bima. Minggu kemarin, kita tercengang dengan banjir di Kecamatan Madapangga yaitu di desa monggo Kabupaten Bima.

Beberapa waktu berselang, pada hari sabtu dan Minggu wilayah Woha dan sekitarnya terdampak luapan banjir, kemudian pada hari yang sama hingga selasa sore 11 November 2025 Kota Bima diteror dengan besarnya debit banjir di Sungai padolo. Dua hari terakhir kita juga disuguhkan dengan bencana banjir yang melanda kecamatan Sanggar tepatnya di wilayah Kore dan Kilo. 

Ini baru awal musim, bagaimana dengan situasi di puncak musim penghujan yang biasanya terjadi pada bulan Januari dan Februari?

Dalam hitungan hari tersebut, bencana banjir menjadi isu yang menghebohkan jagat raya. Utamanya di media social, isu bencana banjir menjadi viral diperdebatkan dan diangkat dalam menghiasi beranda. 

Saya sebenarnya hendak skeptis dan masa bodoh dalam menanggapi kehebohan ini. Saya lebih memilih bergerak dalam diam tanpa harus di-upload di media sosial.

Namun, tampaknya dampak media sosial menjadi sangat dominan saat ini. Bahkan, isu dan wacana di media sosial lebih banyak dikonsumsi dan ditanggapi oleh berbagai pihak dan di segala lapisan. 

Untuk itu, saya memuat tulisan ini.

Hal pertama yang muncul dalam pikiran saya ketika isu banjir ini saya pelajari dalam berbagai tulisan dan jurnal ilmiah yang dibandingkan dengan kondisi objektif dan factual akhir-akhir ini adalah “Kita Terlalu Pongah Dan Sombong” terhadap bencana ini.

Kepongahan dan kesombongan kita diakibatkan oleh sikap abai dan terlalu meremehkan bencana ini. Kepongahan dan kesombongan kita ditunjukkan dengan ketidak seriusnya kita dalam menanggulangi dan melakukan Tindakan preventif dari terus meningkatnya bencana banjir dari tahun ke tahun.

Memang, bencana banjir merupakan bencana yang umum terjadi di Kawasan iklim tropis seperti di Indonesia. Dengan kenyataan ini seakan kita tidak peduli dengan bencana umum ini, bahkan kita tidak serius dalam memikirkan dampak bencana ini untuk diminimalisir. 

Kita seakan pongah, bukannya memikirkan cara dalam meminimalisir dampak bencana ini, malah kita makin memperparah bencana ini dengan mengabaikan strategi penanggulangan bahkan mengamini tindakan-tindakan yang memperburuk situasi seperti perambahan hutan, manajemen lingkungan yang buruk dan membiarkan penyempitan dan pendangkalan Daerah Aliran Sungai (DAS).

Kita seakan lupa bagaimana bencana banjir ini lebih merugikan daripada bencana alam lain dan situasi force major lainnya. 

Bencana alam di Indonesia membuat kerugian negara Rp22 triliun tiap tahun, yang sebagian besar disumbang oleh bencana banjir, data bencana yang dirilis oleh Geoportal Data Bencana BNPB mencatat periode 1 januari 2025 hingga 12 November 2025 setidaknya terjadi 2.806 bencana alam. Bencana banjir merupakan bencana yang besar terjadi dan menyumbang dampak yang paling besar. Tercatat 1.372 bencana banjir dengan persentase 49% bencana merupakan bencana banjir.

Dampak yang ditimbulkan dari bencana sepanjang 2025 ini setidaknya menyebabkan 390 jiwa meninggal, 53 jiwa hilang, 5.490.603 orang menderita dan mengungsi, 669 orang luka-luka. Kerugian material yang merupakan dampak dari bencana alam ini yaitu sebesar 22.996 rumah rusak ringan, 7.372 rusak sedang, 4.852 rusak berat dan totalnya kerusakannya sebesar 35.220. 

Sementara fasilitas publik yang rusak totalnya mencapai 637 dengan rincian 361 satuan pendidikan, 227 rumah ibadah dan 49 fasilitas pelayanan Kesehatan. Data yang mencengangkan menunjukkan hampir 50% bencana alam di Indonesia diakibatkan oleh banjir. 

Sekretaris Jenderal Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mengungkapkan data bahwa selain curah hujan yang ekstrem, kerusakan daerah aliran sungai menjadi pemicu banjir. Hal ini sejalan dengan data dari Kementrian Lingkungan Hidup dan

Kehutanan (KLHK) bahwa saat ini terdapat 14 juta lahan kritis di Indonesia. Hal ini dapat menjadi penyebab dan mengancam daerah aliran sungai (DAS). Sementara kemampuan setiap daerah untuk melakukan pemulihan lahan kritis hanya sekitar 1.66% per tahun saja.

Bencana banjir pada tahun 20216 meninggalkan memori buruk yang menyisakan traumatik tersendiri bagi kita Masyarakat Bima. BNPB Daerah merilis data bahwa bencana banjir Tahun 2016 setidaknya berdampak langsung pada 105.753 jiwa Masyarakat Kota bima. 

Dahsyatnya banjir 2016 meredam 33 kelurahan di 5 kecamatan di Kota Bima. Bencana banjir tersebut hampir melumpuhkan perekonomian Kota Bima selama setahun penuh. 

Bencana banjir tersebut setidaknya menelan kerugian Rp1 Triliun. Kerusakan yang diakibatkan oleh bencana banjir diantaranya 5 puskesmas rusak berat, pustu 29 rusak berat, Kerusakan fasilitas kesehatan meliputi Puskesmas 5 rusak berat, Pustu 29 rusak berat, Polindes 29 rusak berat, 1 Labkesda rusak berat. Kerugian diperkirakan Rp.64,4 Milyar. Kerusakan lahan pertanian meliputi 2.247 ha lahan sawah rusak dengan kerugian ditaksir mencapai Rp. 5.81 milyar.

Kerusakan fasilitas pendidikan meliputi 18 SD rusak sedang, 5 SMP rusak sedang, 4 SMA/SMK rusak sedang. Kerugian diperkirakan mencapai Rp 9,2 Milyar. Kerusakan infrastruktur: 9 jembatan rusak, jalan dalam kota 40 km rusak, prasarana air minum rusak, sarana kebersihan, 5 dam rusak berat dan 1 dam rusak sedang. Kerugian diperkirakan Rp259 Miliar. 

Tempat Usaha atau Kios: Kec. Mpunda 5 rusak berat. Kec. Raba 44 rusak berat, 39 rusak sedang. Kec. Rasanae Barat 21 rusak berat Kec. Asakota 7 rusak berat. Kerugian diperkirakan Rp420 juta.

Rumah: Kec. Mpunda 18 hanyut, 27 rusak berat. Kec. Raba 24 hanyut, 20 rusak berat, 39 rusak sedang Kec. Rasanae Barat 30 hanyut, 10 rusak sedang. Kec. Asakota 19 hanyut Kerugian diperkirakan Rp30,1 Milyar Kantor: 30 rusak berat. Kerugian diperkirakan Rp7,8 Miliar. 

Pemerintah Daerah Kota Bima memperkirakan kerugian dari harta penduduk mencapai Rp607,93 Miliar sehingga total kerugian ditaksir mencapai Rp 984,40 Milyar.

Dampak bencana banjir 2016 di Kota Bima setidaknya melebihi APBD Kota Bima yang hanya 800 Miliar per tahun. Kerugian yang dihasilkan oleh banjir yang hanya terjadi dalam waktu 4 hari sampai melampaui kemampuan APBD selama satu tahun anggaran. Hal ini menunjukkan bahwa bencana banjir memberikan dampak kerugian yang begitu besar.

Semua pihak sepakat bahwa banjir merupakan bencana yang paling banyak terjadi dan memberikan dampak kerugian yang paling besar serta bencana yang paling banyak menelan korban jiwa atau penyebab paling banyak dari kematian dibandingkan dengan perang ataupun penyakit. 

Faktor yang memberikan kontribusi paling dominan terhadap bencana banjir antara lain:

1) curah hujan yang tinggi; 2) pengelolaan lahan yang buruk; 3) perubahan iklim; 4) infrastruktur yang buruk dan 5) pengelolaan sumberdaya air.

Dampak yang begitu massif dan besar ini seakan belum cukup untuk membuat kita serius dalam menanggulangi dan membuat kebijakan preventif untuk menghadapi bencana wajib dan lumrah yang terjadi di wilayah kita. 

Bukannya serius dalam meminimalisir atau melakukan tindakan preventif, kita malah semakin pongah dan sombong dengan membiarkan beberapa faktor yang berkontribusi dalam memperparah bencana banjir seperti:

1. Membiarkan tata kelola lahan yang buruk dengan melakukan perubahan status Kawasan hutan lindung dan konservasi menjadi hutan produksi. Peralihan status hutan lindung dan konservasi begitu massif sehingga kita tidak tau lagi batasan hutan lindung dan konservasi kita tinggal berapa yang tersisa. 

Bahkan dengan masifnya peralihan status ini kita tidak lagi menemukan Kawasan hutan lindung dan konservasi yang ada di wilayah kita. Dengan dalih stimulan pertumbuhan ekonomi rakyat melalui program sapi, jagung rumput laut (Pijar).

Kita dengan pongahnya merambah hutan melalui peralihan status Kawasan hutan dengan begitu massif tanpa mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan. Kita lupa keseimbangan lingkungan yang pincang malah akan memberikan dampak kerugian yang lebih besar ketimbang stimulus ekonomi yang gak seberapa untuk rakyat.

2. Pembangunan infrastruktur yang baik dalam mengantisipasi bencana banjir tidak dilakukan secara serius. Buruknya infrastruktur yang ada di wilayah kita juga diakibatkan oleh terpuruknya kapasitas fiskal dan tunduknya politik anggaran pada kepentingan dan kehendak politik yang tidak berorientasi pada kesejahteraan tapi hanya untuk kepentingan pelanggengan kekuasaan dan keberlangsungan koalisi politik.

3. Pembuatan kebijakan tata ruang yang jauh dari kepentingan ekologis dan cenderung pada kepentingan konspirasi politik anggaran yang kolusif. Pengelolaan tata ruang tidak dimanajemen dengan baik dengan melibatkan para ahli dan analisis dampak lingkungan yang mendalam.

4. Pengelolaan sumberdaya air yang buruk tanpa mempertimbangkan rencana strategis jangka menengah dan jangka Panjang. Tata Kelola sumber daya air hanya diarahkan pada pemenuhan kebutuhan industri. Eksploitasi air yang hanya diperuntukkan untuk kebutuhan industri tanpa mempertimbangkan pemenuhan kebutuhan air untuk Masyarakat luas menjadi salah satu faktor terhadap kerusakan alam yang ditimbulkan.

Dari sekian buruknya manajemen tersebut, menunjukkan kepongahan dan kesombongan kita terhadap alam dan sang pencipta sudah jauh melampaui batas yang sewajarnya. Bencana banjir yang terjadi dalam dua minggu ini seharusnya menjadi peringatan buat kita agar lebih serius dan mengistrokspeksi diri dalam menghadapi bencana ini. Selama ini bencana banjir yang terus kita abaikan ini bisa jadi adalah dosa kolektif kita sebagai manusia yang cenderung pongah dan sombong. 

Dari hasil introspeksi diri inilah penulis mengajak kepada semua pihak agar senantiasa bangkit untuk tetap peduli dan tidak mengambil posisi apatis dalam menilai bencana ini. 

Ayo sama-sama aktif dan berkontribusi sekecil apapun dalam menanggapi bencana ini.

Kepedulian dan kontribusi kita bisa kita ambil dari hal paling sederhana yaitu mulai dengan tidak membuang sampah sembarangan. Mengingatkan kepada sanak saudara kita bahwa peduli lingkungan adalah ibadah ekologis yang wajib kita jalankan. Ingatkan untuk meminimalisir bahkan tidak melakukan pengerusakan lingkungan kepada orang-orang terdekat kita.

Referensi:

Dede Nugraha Pratama, Restu Bella Amanda, Shafa Anitasyah. 2022. “Kajian Struktural

Fungsional: Fenomena Banjir Sebagai Akibat Dari Tidak Selarasnya Fungsi Dan Sistem Di

Indonesia.” 12(1):65–74.

HAKIM, AFFAN YUNAS. 2025. “ANALISIS FRAMING BERITA BENCANA BANJIR DI

MEDIA ONLINE BERITAKEBUMEN.CO.ID PADA TAHUN 2022.”

No, Vol, Januari Juni, Indah Purwoningsih, Lulu Rintan Apriliyani, Nadia Sabila, Siti Musaroh,

and Maydiana Alpa. 2025. “Analisis Komprehensif Faktor-Faktor Pemicu Banjir Dan

Dampaknya Terhadap Ketahanan Sosial Ekonomi Masyarakat Di Wilayah Lampung.”

2(2):1303–8.

Sahrul, Syahri Ramadoan. 2019. “ANALISIS KESIAPSIAGAAN MASYARAKAT PADA

WILAYAH RENTAN BENCANA BANJIR (Studi Di Kelurahan Paruga Kecamatan

Rasana`E Barat Kota Bima).” (1):71–81.

IKLAN

Berita Terkait

Back to top button