Oleh: Yan Mangandar Putra*
Kasus yang menjadi perhatian publik baru ini yakni mahasiswa semester atas Universitas Udayana yang akhirnya memilih bunuh diri loncat dari gedung lantai 4 dan kasus siswa SMAN 72 Jakarta menjadi pelaku peledakan di sekolahnya yang melukai banyak korban, keduanya diduga kuat sebelumnya adalah Korban Bullying (Perundungan) bahkan mirisnya setelah meninggal pun masih tetap mendapatkan bullying.
Hal tersebut diperparah ternyata dari dari Januari – Oktober 2025 ini sudah 25 anak di seluruh Indonesia bunuh diri berdasar pernyataan dari KPAI. Dari kasus-kasus tersebut, para korban akhirnya memilih caranya masing-masing untuk melawan bahkan sebagian kita mungkin mencap ini berlebihan karena dianggap caranya bertentangan dengan hukum, tapi ini fakta pil pahit yang harus kita telan karena ‘luka yang sudah terlalu menganga sangat lama’ dan kita abai terutama Negara, sehingga wajar Prof Abdul Mu’ti Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah RI menganggap ini merupakan ‘alarm darurat’ untuk dilakukan pembenahan secara total dan memperkuat lingkungan sekolah yang aman dari kekerasan dengan cara yang humanis, komprehensif dan partisipatif dengan melibatkan guru, orangtua dan para murid itu sendiri.
Tetapi buat saya hal mendasar yang patut menjadi perhatian di dunia pendidikan kita adalah memperbaiki tata kelola pendidikan agar Bagaimana anggaran pendidikan dipertanggungjawabkan secara terbuka, menutup ruang pungli baik di sekolah dan dinas pendidikan, perekrutan guru berdasarkan kompetensi dan memperhatikan kesejahteraan guru terutama guru yang berstatus honorer dan terus meningkatkan kapasitas Guru Bimbingan dan Konseling (BK) dan Satuan Tugas Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (SATGAS TPPK), karena Guru bukan cuma Pengajar tetapi juga cerminan masa depan bagi seluruh siswanya.
Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Mataram sendiri dalam tahun 2025 paling banyak menangani kasus bullying yang jumlahnya sudah lebih dari 40 kasus yang terjadi di sekolah dan pondok pesantren/ponpes dan paling banyak layanan yang dilakukan adalah pendampingan psikologi, bahkan pernah di Kabupaten Dompu pada 2019 marak terjadinya kasus bunuh diri atau percobaan bunuh diri yang juga dilakukan oleh anak-anak jumlahnya 8 kasus hanya dalam 3 bulan yakni Januari – Maret penyebab utamanya adalah bullying.
Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota serta Kantor Wilayah Kementerian Agama di NTB melalui kewenangannya untuk mengintervensi sekolah dan ponpes melalui perangkatnya seperti Dinas dan UPTD terkait Perlindungan Anak, Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota dan lainnya masih dirasa omon-omon keterlibatannya dalam pencegahan dan penanganan terkait kasus bullying. Parahnya lagi, kebiasaan buruk Pemerintah Daerah sejak dulu akan terlihat sibuk bekerja melakukan penanganan hanya ketika kasus tertentu viral, kemudian hilang. Tidak ada upaya bermakna yang berkelanjutan seperti kegiatan peningkatan kapasitas Guru BK dan SATGAS TPPK.
Padahal hampir tidak ada tempat yang aman dari bullying di sekolah atau ponpes dan juga yang patut menjadi perhatian adalah lembaga lain yang bekerjasama untuk kegiatan ekstrakurikuler seperti sanggar, kelompok beladiri, klub belajar, paskibraka dan lainnya menjadi tempat lebih berpotensi terjadinya bullying karena tidak jarang anak-anak diberikan kebebasan untuk mengatur teman sebayannya dengan kontrol minim dari orang dewasa sedangkan ditempat tersebut terjadi ‘pengagungan terhadap relasi kekuasaan’ bahwa apapun yang dilakukan Senior terhadap Junior, Guru kepada Siswa atau Dosen terhadap Mahasiswa adalah hal yang tidak boleh dibantah sekalipun itu salah.
Prinsip mendengarkan dan menghargai pendapat korban adalah hal utama menjadi pegangan Pemerintah Daerah dalam mengambil tindakan karena Tidak mudah bagi korban bullying melaporkan kejadian yang dialaminya baik kepada teman, orangtua atau Pemerintah Daerah karena belajar dari cerita orang lain atau pengalamannya selama ini bahwa justru tidak sedikit dari orang-orang tersebut menyalahkan korban dengan mencap ‘terlalu baper, bodoh tidak melawan atau kalimat/tindakan lain yang justru juga merendahkan martabat’ tanpa tindakan untuk mengingatkan dan mengawasi Pelaku agar tidak mengulangi lagi perbuatannya serta tidak mempertimbangkan upaya perlindungan bagi korban.
Apalagi bila dikaitkan dengan latar strata sosial, besar kemungkinan korban hanya disuruh diam dan diberi tambahan beban yakni perintah ‘jaga nama baik lembaga!’. Kalimat ‘terlalu baper, bodoh tidak melawan atau kalimat/tindakan lain yang justru juga merendahkan martabat’, bukanlah kalimat yang sembarang kita ucapkan untuk merendahkan orang lain, apalagi dilakukan secara berulang dan dihadapan banyak orang.
Sebenarnya kita semua memiliki moral insting bahkan diumur bulanan sudah dapat menyukai hal-hal baik dan mampu menunjukkan sifat menghukum hal buruk. Seseorang yang berubah jadi Pem-bully juga adalah korban bisa saja di rumah atau lingkungan tidak diperhatikan atau sering mendapatkan perlakuan kasar sehingga mereka yang merasa diri kalah kemudian mencari tempat agar bisa merasa menang untuk mendapatkan validasi dan dihargai.
Sayangnya, masih banyak korban yang melapor kepada pihak sekolah, ponpes, dinas atau UPTD terkait perlindungan anak justru diasingkan bahkan parahnya mereka pem-bully hanya karena jumlahnya lebih banyak atau dianggap memiliki kelebihan tertentu dibandingkan korban, diberi ruang untuk berkembang tanpa memikirkan sama sekali bagaimana perasaan korban. Bukan hal yang salah mereka yang pernah jadi pem-bully, mengakui kesalahannya dan meminta maaf lalu diberi ruang untuk berkembang, tetapi juga seharusnya melakukan upaya agar bagaimana korban mau lagi mengembalikan kepercayaan dirinya, bukan bersikap abai seakan tidak pernah terjadi apa-apa.
Sikap Pemerintah Daerah masih omon-omon lebih kepada sebatas seremoni untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan hak anak, sebaiknya kebiasaan buruk tersebut di stop. Baiknya Pemerintah Daerah maksimal melakukan tindakan nyata dengan mengedukasi anak-anak, siswa, santri dan Mahasiswa untuk speak up! Lalu Pemerintah Daerah menjamin perlindungan kepada siapapun yang berani speak up melaporkan kejadian buruk yang dialaminya sendiri atau orang lain, jangan sampai ada upaya kepada Pelapor atau korban disuruh diam dan tidak ada tindakan apapun. Perbuatan seperti ini hanya akan menjadi ‘bom waktu’ bagi Korban dan Pelaku.
Korban yang sulit mengembalikan kepercayaan dirinya, akhirnya memilih keputusan yang buruk bagi dirinya dengan tetap memendam amarah pada pelaku, tidak mau bergaul dengan lingkungan sosialnya dan pesimis mengembangkan minat dan bakat yang dimilikinya, bahkan parahnya di kasus kekerasan seksual berupa pencabulan sesama jenis laki dengan laki, awalnya menjadi korban namun akhirnya rentan bisa menjadi pelaku bila penanganannya tidak dilakukan secara benar.
Selanjutnya, terhadap Pelaku yang awalnya coba-coba, namun karena merasa perbuatan salahnya tidak mendapatkan peringatan akhirnya perbuatan lebih buruk tidak saja pada satu tetapi juga ke banyak korban hingga harus mendapatkan hukuman penjara padahal dianggap selama ini berprestasi atau tokoh. Bayangkan, betapa buruknya bila Pemerintah Daerah Provinsi NTB dibawah kepemimpinan Bapak Lalu Muhammad Iqbal Gubernur NTB tidak secara serius mengambil bagian melakukan pencegahan dan penanganan yang tepat terkait permasalahan bullying ini. (*)
Penulis:
*Yan Mangandar Putra
Pengacara Anak. Sejak 2014 s.d 2025 telah memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada ratusan Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) baik sebagai anak korban, anak saksi dan anak yang berkonflik hukum terutama terkait kasus kekerasan/kekerasan seksual di Provinsi NTB.



