KLU dan Lombok Timur Masuk Zona Merah Stunting
Mataram (NTBSatu) – Berdasarkan data hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2025, dua daerah di NTB, yaitu Kabupaten Lombok Utara (KLU) dan Kabupaten Lombok Timur, masuk zona merah stunting.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTB, dr. Lalu Hamzi Fikri mengatakan, kategori zona merah, persentase angka stuntingnya di atas 30 persen. Angka stunting KLU 35,3 persen, sedangkan Lombok Timur 33 persen.
“Kalau kita lihat dari peta kerawanan, ada kabupaten yang masuk kategori merah, kuning, dan hijau. Yang merah itu di atas 30 persen. Saat ini yang masih merah adalah Kabupaten Lombok Utara dan Lombok Timur,” kata Fikri, Kamis, 6 November 2025.
Selain itu, enam daerah lainnya masuk zona kuning dengan persentase angka stunting kurang dari 30 persen. Di antaranya: Kabupaten Bima 23,8 persen; Kota Bima 28,4 persen; Sumbawa 29,8 persen; Lombok Tengah 24,9 persen; Kota Mataram 23,3 persen; dan Lombok Barat 27,3 persen.
“Sedangkan dua daerah lainnya masuk kategori zona hijau. Yaitu, Sumbawa Barat 18,2 persen dan Dompu 19,8 persen,” kata Fikri.
Angka Stunting Provinsi NTB 2025
Sementara secara keseluruhan, angka stunting di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) meningkat signifikan. Berdasarkan hasil SSGI 2025, prevalensi stunting di NTB mencapai 29,8 persen, naik 5,2 persen dari tahun sebelumnya. Capaian ini menempatkan NTB di peringkat keenam tertinggi secara nasional.
“Peningkatan ini menjadi peringatan penting bagi seluruh pemangku kepentingan, untuk memperkuat kolaborasi dalam menekan kasus stunting di daerah,” terangnya.
Fikri menjelaskan, strategi penanganan stunting di NTB kini lebih fokus pada pencegahan munculnya kasus baru, bukan hanya pemulihan anak yang sudah mengalami stunting.
“Konsepnya sekarang adalah bagaimana mencegah supaya tidak terjadi stunting baru. Karena kalau sudah stunting, upaya intervensinya jauh lebih besar dan hasilnya tidak optimal,” ujarnya.
Menurutnya, terdapat dua jenis intervensi utama, yaitu intervensi spesifik dan intervensi sensitif. Intervensi spesifik oleh tenaga kesehatan melalui kegiatan seperti pemberian tablet tambah darah untuk remaja putri, pemantauan ibu hamil, serta pemberian makanan tambahan bagi balita.
Adapun intervensi sensitif mencakup sektor nonkesehatan seperti pendidikan, sanitasi, ekonomi, dan lingkungan.
“Yang punya kontribusi besar itu intervensi sensitif. Karena masalah stunting tidak bisa diselesaikan hanya oleh sektor kesehatan. Harus ada keterlibatan semua pihak, termasuk pemerintah, swasta, akademisi, media, dan masyarakat,” tegasnya.
Sumbawa Barat Berhasil Turunkan Angka Stunting
Salah satu contoh keberhasilan kolaborasi tersebut terlihat di Kabupaten Sumbawa Barat, yang berhasil menurunkan angka stunting dengan menerapkan konsep pentahelix, melibatkan unsur pemerintah daerah, sektor swasta, perguruan tinggi, media, dan komunitas masyarakat.
Selain itu, Pemprov NTB juga menginisiasi program pemberian telur untuk anak-anak guna memenuhi kebutuhan protein hewani. Program ini bersinergi dengan Desa Berdaya, yang menargetkan 32 desa dengan tingkat kemiskinan ekstrem agar intervensi gizi dan sosial berjalan beriringan.
Meski berbagai upaya telah dilakukan, Hamzi mengakui masih ada tantangan besar di lapangan, terutama pada pola makan dan pola asuh anak.
“Masih banyak anak yang diasuh bukan oleh orang tuanya langsung karena ibunya bekerja di luar negeri. Ada juga pola makan yang kurang tepat, anak hanya diberi makanan seadanya, bahkan kadang hanya nasi dan garam,” ungkapnya.
Ia menambahkan, kemudahan akses informasi di era digital belum sepenuhnya meningkatkan pemahaman masyarakat terkait gizi yang benar.
“Hampir semua orang sekarang tahu soal stunting, tapi tahu saja tidak cukup. Tantangannya adalah bagaimana mengubah pengetahuan itu menjadi perilaku yang benar,” katanya.
Sebagai langkah lanjutan, Pemprov NTB kini memperkuat sistem pendataan berbasis digital yaitu e-PPGBM untuk memantau perkembangan kasus stunting secara real time by name, by adress. Data tersebut digunakan oleh petugas gizi di lapangan agar intervensi dapat lebih tepat sasaran.
“Secara kumulatif, intervensi kita sudah menunjukkan hasil. Tapi target nasional berikutnya di tahun 2026 akan menjadi potret penting bagi NTB. Karena itu, kolaborasi lintas sektor harus lebih kuat, konsisten, dan berkelanjutan,” tutupnya. (*)



