HEADLINE NEWS

FITRA NTB Soroti ‎Alokasi DBH Ratusan Miliar Tak Sesuai Permenkeu

‎Mataram (NTBSatu) – Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) NTB menyoroti pengalokasian Dana Bagi Hasil (DBH) tambang dan cukai hasil tembakau mencapai ratusan miliar.

Dana itu rupanya tidak pernah teralokasi untuk menekan angka kemiskinan dan angka putus sekolah di NTB. Masalah itu terungkap dalam diskusi publik bertajuk Vox Populi yang diadakan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum, Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FHISIP) Universitas Mataram, Rabu 5 November 2025.

Direktur FITRA NTB Ramli Ernanda mengatakan sebagian besar dana yang seharusnya menjadi napas bagi petani, nelayan, dan masyarakat kecil justru berbelok arah ke program-program yang jauh dari peruntukan idealnya.

Ramli mengatakan total DBH Pajak Provinsi NTB tahun 2025 mencapai Rp740,4 miliar, dengan komposisi Pajak Penghasilan (PPH) Rp77 miliar, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Rp52 miliar, serta Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH-CHT) sebesar Rp610 miliar.

‎Namun, alokasi dana yang besar itu justru lebih banyak mengalir ke pos-pos yang tidak sesuai dengan aturan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 215/PMK.07/2021 tentang Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi DBH-CHT.

‎”Sekitar 31,2 persen atau Rp50,9 miliar dari DBH-CHT teralokasi untuk pembangunan dan rehabilitasi embung oleh Dinas PUPR,” kata Ramli dalam dalam keterangan tertulis ke NTBSatu, Rabu 5 November 2025.

Selain itu 10,7 persen atau Rp17,46 miliar DBH yang bersumber dari pajak tambang dan tembakau itu digunakan oleh Dinas Pertanian dan Perkebunan. Padahal dana ini bukan untuk proyek fisik, melainkan peningkatan kesejahteraan petani tembakau.

Berdasarkan UU, lanjut Ramli, ‎DBH-CHT desainnya untuk mendukung kesejahteraan petani tembakau, peningkatan kualitas bahan baku, diversifikasi tanaman, serta peningkatan kesehatan masyarakat akibat dampak konsumsi rokok. Tetapi, di NTB, arah penggunaan dana ini tampak kabur. Bahkan tercatat mengalir untuk gaji pegawai.

FITRA NTB mencatat sejumlah belanja tidak sesuai pada alokasi APBD NTB tahun 2025 seperti perjalanan dinas senilai Rp 3,06 miliar, honorarium Rp 687 juta, dan belanja alat tulis kantor (ATK) sebesar Rp 465 juta.

Lebih parah lagi, ada sekitar Rp 4,9 miliar atau 3 persen dari total DBH-CHT sama sekali tidak terlacak penggunaannya dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) 2025.

‎”Dana itu seharusnya untuk masyarakat, bukan untuk gaji pegawai atau urusan administrasi kantor. Gaji pegawai bisa diambil dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), sedangkan DBH harus langsung dirasakan oleh rakyat,” tegasnya.

‎Lebih lanjut, Ramli menyebut bahwa porsi terbesar justru diterima oleh sektor lain yang tidak langsung menyentuh petani. Sektor kesehatan menerima 49,6 persen atau Rp80,78 miliar, sementara program kesejahteraan masyarakat non-bantuan menghabiskan 42,3 persen atau Rp68,97 miliar.

‎Ramli menegaskan, jika penggunaan dana bagi hasil, termasuk DBHCHT, pajak, dan tambang terpakai dengan benar, maka banyak persoalan pembangunan di NTB bisa selesai. Apalagi, totalnya hampir Rp2 triliun di setiap pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah Provinsi NTB.

‎”Kita mulai dari hal-hal kecil. Jangan lagi DBH-CHT dipakai untuk beli perahu atau pelatihan-pelatihan seremonial. Gunakan untuk membantu petani, memperbaiki lingkungan, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat,” katanya.

Akui untuk Gaji Pegawai

‎Anggota Tim Percepatan Pembangunan Gubernur NTB, Lalu Fahrurrozi membenarkan, anggaran dana DBH sebagian untuk membayar gaji pegawai.

Penyebabnya, jumlah tenaga kerja di Pemprov NTB sudah terlalu banyak yang menyebabkan belanja pegawai melebihi ambang batas sesuai pengaturan pemerintah pusat sebesar 30 persen dari APBD.

“Belanja pegawai kita di Pemprov NTB telah mencapai angka 33 persen untuk belanja pegawai tersebut. Tenaga honorer kita juga banyak, itu masalah dari pemerintah sebelumnya yang tidak bagus pola rekrutmen pegawainya,” sebutnya.

Tak hanya itu, Fahururozi juga menjelaskan bahwa penggunaan dana DBH untuk infrastruktur seperti jalan pertanian, saluran irigasi, juga sangat penting untuk menunjang produktivitas petani dalam mencapai salah satu triple agenda Gubernur NTB, yakni ketahanan pangan.

Fahrurrozi juga mengingatkan bahwa tahun 2026 NTB akan menghadapi tantangan besar akibat penurunan drastis DBH dari sekitar Rp850 miliar pada 2025 menjadi hanya Rp178 miliar.


‎”Korbannya ya daerah, termasuk NTB. Pemerintah pusat memotong dana transfer untuk menutup defisit. Tapi justru karena itu, penggunaan dana yang tersisa harus benar-benar efisien dan tepat sasaran,” tuturnya.

Ketua DPW Partai Gelora NTB itu juga menilai persoalan DBH bukan hanya soal besaran dana, tetapi soal pengawasan publik. Ia menekankan pentingnya pengawasan bersama terhadap pengelolaan DBH agar tidak terjadi penyimpangan.

‎”Pemerintah kalau tidak diawasi juga jadi keenakan. Ini uang dari masyarakat, harus kembali ke masyarakat. Kita harus kawal bersama agar peruntukannya tepat,” pungkasnya. (*)

Berita Terkait

Back to top button