Oleh: Arie Nauvel Iskandar*
Alarm dari Langit
Fenomena “hujan mikroplastik” yang dilaporkan The Star dan dikonfirmasi oleh hasil penelitian BRIN serta IPB menjadi kabar yang mengguncang kesadaran publik. Air hujan yang mestinya membersihkan udara, kini justru membawa partikel plastik mikroskopis yang jatuh ke tanah, meresap ke air, dan berpotensi masuk ke tubuh manusia. Ini bukan lagi sekadar isu lingkungan, tetapi krisis kebijakan publik yang menuntut koordinasi nasional lintas sektor.
Mikroplastik telah menembus batas ruang menjadi bagian dari udara yang dihirup dan air yang diminum. Artinya, kebijakan yang selama ini menitikberatkan pada pengelolaan limbah padat tidak lagi memadai. Diperlukan kebijakan terpadu yang mengatur tidak hanya sampah di darat, tetapi juga polusi tak kasat mata di atmosfer.
Public Affairs dan Respons Pemerintah
Dalam konteks public affairs, isu mikroplastik menuntut pemerintah untuk menunjukkan responsiveness dan policy agility, kemampuan merespons cepat dengan dasar ilmiah dalam bentuk kebijakan dan program kerja serta komunikasi publik yang terencana. Pemerintah perlu segera membentuk task force lintas kementerian, melibatkan KLHK, Kemenperin, Kemenkes, dan lembaga riset seperti BRIN dan BMKG untuk mengintegrasikan riset, kebijakan, dan langkah mitigasi.
Public affairs tidak hanya berbicara soal relasi pemerintah dengan publik, tetapi juga bagaimana kebijakan dibentuk secara kolaboratif dan dikomunikasikan secara kredibel. Pemerintah harus menyampaikan kepada masyarakat bahwa isu ini bukan kepanikan, tetapi panggilan untuk perubahan. Narasi publik yang kuat dapat mengubah krisis menjadi momentum kolektif.
Kolaborasi Lintas Stakeholders
Isu mikroplastik tidak bisa ditangani oleh pemerintah sendiri. Diperlukan kemitraan lintas stakeholders’ yang menyatukan kekuatan regulasi, riset, dan inovasi. Pemerintah menjadi pengarah kebijakan, industri menjadi penggerak solusi, lembaga riset seperti BRIN dan BMKG menjadi sumber data dan sains, sementara akademisi menjadi mitra dalam analisis kebijakan dan edukasi publik.
BMKG memiliki posisi strategis dalam membaca pola atmosfer dan curah hujan yang memungkinkan penyebaran mikroplastik di udara. BRIN, sebagai lembaga riset nasional, perlu memperkuat pemantauan melalui jaringan laboratorium di berbagai daerah untuk mengukur tingkat pencemaran mikroplastik di udara, air, dan tanah. Sementara akademisi dan universitas dapat menjadi jembatan pengetahuan yang mengaitkan temuan ilmiah dengan kebutuhan kebijakan publik.
Industri memiliki tanggung jawab besar untuk memberikan kontribusi yang terukur. Prinsip Extended Producer Responsibility (EPR) harus diterjemahkan ke dalam tindakan konkret: Memperbaharui model bisnis yang dijalankan dengan melakukan riset berkelanjutan, mengubah desain produk, memperluas fasilitas daur ulang, dan memanfaatkan teknologi ramah lingkungan. Kolaborasi dengan lembaga riset dapat mempercepat lahirnya inovasi bahan substitusi plastik dan sistem waste tracking yang transparan.
Pemerintah Perlu melakukan pemantauan yang intensif terkait kualitas udara dan air hujan secara rutin terutama di kota kota besar serta memastikan Industri menjalankan bisnisnya dengan tata Kelola yang ramah terhadap lingkungan yang berkelanjutan serta secara periodik melakukan monitoring yang melibatkan semua perangkat pemerintah dari pusat hingga ke daerah, terutama Industri yang menggunakan material plastic agar mengurangi penggunaan dan membangun fasilitas daur ulang.
Kebijakan dan Target yang Terukur
Krisis mikroplastik membutuhkan arah kebijakan yang berbasis data dan capaian yang dapat diukur. Pemerintah dapat menetapkan target nasional, seperti menurunkan kadar mikroplastik di udara perkotaan sebesar 30% dalam lima tahun, memperluas sistem pemilahan sampah di sumber di seluruh kota besar pada 2028, serta meningkatkan kapasitas daur ulang plastik hingga 50% dari total konsumsi.
Target semacam ini bukan sekadar angka, tetapi instrumen komunikasi kebijakan, cara pemerintah menunjukkan keseriusan dan akuntabilitas kepada publik. Dengan adanya indikator capaian yang jelas, koordinasi lintas lembaga dapat berjalan lebih terarah, dan publik memiliki tolok ukur untuk menilai kemajuan kebijakan.
Komunikasi Publik dan Kepercayaan
Dalam ranah public affairs, komunikasi publik menjadi jantung dari keberhasilan kebijakan. Pemerintah perlu menyampaikan pesan dengan bahasa yang mudah dipahami: apa itu mikroplastik, mengapa ia berbahaya, dan apa langkah mitigasi yang sedang dilakukan, apalagi hasil penelitian menyatakan salah satu penyebabnya adalah gaya hidup urban modern, sehingga pengetahuan dan pemahaman Masyarakat menjadi sangat penting dalam memperbaiki kualitas udara dan air.
Strategi komunikasi harus bersifat berlapis: kampanye edukatif untuk masyarakat, komunikasi kebijakan untuk industri dan lembaga riset, serta publikasi advertorial di media arus utama yang memperlihatkan kolaborasi nyata lintas pihak.
Advertorial bukan sekadar promosi, melainkan alat storytelling kebijakan—menampilkan keberhasilan, progres, dan partisipasi publik. Dengan demikian, komunikasi bukan hanya penyampai informasi, tetapi instrumen membangun trust capital antara pemerintah dan masyarakat.
Dari Krisis Menuju Kolaborasi
Fenomena hujan mikroplastik adalah peringatan bahwa manusia telah mengubah alam lebih jauh dari yang dibayangkan. Tetapi, ia juga membuka peluang untuk memperbaiki arah pembangunan. Dalam konteks public affairs, inilah momentum bagi pemerintah untuk menunjukkan bahwa tata kelola lingkungan bukan urusan sektoral, melainkan diplomasi kebijakan publik lintas pemangku kepentingan.
Jika pemerintah mampu mengorkestrasi kolaborasi antara industri, lembaga riset, akademisi, dan masyarakat; menetapkan kebijakan berbasis sains dengan target terukur; serta menjalankan komunikasi publik yang konsisten, maka Indonesia tidak hanya merespons isu ini dengan baik, tetapi juga menjadi pelopor kebijakan lingkungan yang modern dan kredibel di kawasan.
Dari butiran hujan yang membawa plastik, kita belajar bahwa setiap kebijakan harus berakar pada kesadaran ekologis. Dan dari kolaborasi lintas pemangku kepentingan, kita belajar bahwa masa depan bumi hanya bisa dijaga bila ilmu, kebijakan, dan empati berjalan seiring.
Pengingat Nurani
Dampak dari krisis mikroplastik bukan hanya soal lingkungan yang tercemar, tetapi tentang masa depan kesehatan manusia. Partikel plastik yang kini melayang di udara dan mengendap di air akan menjadi racun yang diam-diam diwariskan kepada generasi berikutnya. Bayangkan anak-anak kita menghirup udara yang sama, meminum air yang sama, namun dengan beban kimia yang lebih berat dari hasil kelalaian hari ini.
Apakah kita rela, kota dan bangsa ini menyerahkan warisan beracun kepada anak cucu kita, mereka yang tak pernah turut mencemari, tapi harus menanggung akibat dari gaya hidup dan kebijakan yang abai?
Sudah saatnya nurani publik dan kebijakan negara berjalan seiring, agar langkah kita hari ini menjadi penebus, bukan penyesal bagi masa depan. (*)
Penulis:
Ketua Umum Indonesia Public Affairs Community, Pengamat kebijakan Publik, Pegiat Environment Social and Governance, dan Hak Asasi Manusia.



