Daerah NTB

Ada 116 Ribu Ton Beras Bulog NTB Mengendap di Gudang, Ternyata Ini Penyebabnya

Mataram (NTB Satu) – Stok beras Bulog di Provinsi NTB mengendap sejak tahun 2020 lalu. Tidak tersedianya saluran distribusi membuat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pangan ini harus menanggung beban operasional yang tinggi.

Hingga saat ini, total stok beras Bulog yang tersedia di gudang-gudang penyimpanannya sebesar 116.000 ton. Angka itu merupakan akumulasi dari stok serapan tahun 2020, 2021, hingga semester I 2022 ini.

Pimpinan Wilayah Perum Bulog NTB, Abdul Muis merinci jika dinilaikan, harga stok Bulog NTB sebesar 116.000 ton, atau setara 116 juta kilogram dikalikan harga perkilo Rp8.300, maka nilainya mencapai mencapai Rp 926 miliar lebih. Mendekati angka Rp1 triliun.

Dari nilai tersebut, Bulog NTB harus membayar bunga pinjaman sebesar 0,87 persen, maka setahun Bulog NTB membayar bunga bank saja sebesar Rp83 miliar. Atau setara dengan Rp6,9 miliar sebulan atau Rp300an juta perhari.

“Karena kami beli beras dan gabah petani menggunakan dana pinjaman dari BRI. Bukan dana sendiri. Konsekuensinya kami harus bayar bunga kredit tidak kecil,” ujarnya.

Muis menambahkan, minimnya serapan beras Bulog, dipengaruhi oleh tersedianya stok beras di daerah-daerah yang selama ini menjadi langganan pengiriman.

“Daerah yang selama ini kita kirimi beras juga memiliki stok pangan yang mencukupi. Sehingga mau dikemanakan beras-beras yang sudah kita serap ini,” imbuhnya.

Berbeda halnya ketika pemerintah memberlakukan kebijakan bantuan-bantuan sosial menggunakan beras Bulog, termasuk distribusi Raskin, Muis mengatakan, tidak menjadi soal serapan tinggi, selama bisa disalurkan kembali.

“Sekarang Raskin tidak ada. Bantuan-bantuan sosial dengan beras juga tidak ada. Akhirnya stok menumpuk di gudang. Penjualan beras komersil juga tidak mudah,” katanya.

Di satu sisi, Bulog didesak untuk membeli beras/gabah petani saat panen raya. Menjadi pertanyaan, serapan beras dan gabah petani akan ditampung dimana?

Gudang-gudang Bulog dan gudang sewanya penuh dengan stok lama.
“Tidak maksimal menyerap, Bulog lagi disalahkan. Kita mau masif menyerap, mau ditaruh dimana berasnya. Gudang kami masih penuh. Penjualan sedikit. Sementara kami harus menanggung bunga pinjaman bank dan pengembalian kredit tidak kecil,” katanya.

Untuk itu, Muis mengatakan, bila pemerintah daerah atau stakeholders lainnya mengharapkan Bulog melakukan serapan beras dan gabah petani, mestinya Bulog juga dibukakan jalan untuk penyalurannya.

“Kasi kami pasar, ASN beli beras di Bulog. Supaya gudang kami longgar, dan kami bisa menyerap beras dan gabah petani lagi. Mengingat stok begitu besar, pemerintah harus memberi penugasan untuk penyalurannya, minimal Bulog dapat ditugaskan untuk program bansos rastra,” kata Muis.

Muis mengatakan, sudah menyampaikan persoalan ini kepada kepala daerah di NTB, demikian juga kepada bupati dan walikota agar dibukakan jalan untuk mendistribusikan beras yang sudah diserap dari petani.

“Tapi sampai sekarang belum ada tindaklanjut. Makanya bingung juga, kenapa saat harga gabah rendah, Bulog disalahkan. Saat harga beras tinggi karena Bulog membeli gabah dengan harga tinggi, Bulog juga disalahkan. Lantas mau bagaimana?,” demikian Muis. (ABG)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button