Sekolah Pesisi Juang, Cermin Ketimpangan dan Harapan Pendidikan di Pesisir Ampenan

Mataram (NTBSatu) – Dari lorong-lorong sempit di Kelurahan Bintaro, Ampenan, cahaya pendidikan itu berusaha menembus gelapnya ketimpangan. Di tengah rumah-rumah nelayan yang berdiri di tepi laut, sekelompok anak duduk bersila di ruang sederhana, belajar membaca, menulis, dan bermimpi.
Mereka adalah murid Sekolah Pesisi Juang, sekolah alternatif gratis yang lahir dari keprihatinan seorang pemuda bernama Jauhari Tantowi, 27 tahun, putra asli Ampenan.
Sekolah ini bermula saat pandemi Covid-19 melanda. Jauhari menyaksikan anak-anak nelayan di lingkungannya, harus menyewa ponsel untuk mengikuti pembelajaran daring dengan tarif Rp2.000 hingga Rp3.000 per jam.
“Saya merasa terpukul. Kalau belajar saja harus bayar, bagaimana nasib anak-anak lain yang lebih miskin?,” ceritanya kepada NTBSatu, Senin, 20 Oktober 2025.
Dari kegelisahan itu, lahirlah Sekolah Pesisi Juang ruang belajar yang dibangun atas dasar gotong royong dan empati. Jauhari mengungkapkan, Sekolah Pesisi Juang hadir menjawab tiga masalah mendasar di wilayah pesisir Ampenan.
Akses pendidikan yang rendah, kemiskinan yang membuat anak-anak putus sekolah, dan minimnya literasi lingkungan.
“Sekolah ini tidak hanya mengajarkan baca-tulis, tetapi juga menumbuhkan kesadaran tentang lingkungan, laut, dan masa depan mereka sendiri,” jelas Jauhari, alumnus SMK 3 Mataram yang sempat menempuh studi di ITN Malang.
Kini, sekitar 150 anak pesisir belajar secara gratis di sekolah ini. Mereka datang setiap sore, dengan semangat yang tak kalah dari siswa sekolah formal.
“Kami tidak menilai dari seragam atau rapor, tetapi dari semangat mereka datang dan belajar,” ujarnya.
Belajar Humanis dan Kontekstual
Berbeda dari sekolah formal, Sekolah Pesisi Juang mengusung pendekatan pembelajaran partisipatif dan humanis. Anak-anak diajak belajar dengan cara yang relevan dengan kehidupan mereka tentang laut, lingkungan, ekonomi rumah tangga, hingga mitigasi bencana.
“Modelnya lebih fleksibel. Anak-anak belajar sesuai kebutuhan dan konteks kehidupan pesisir,” jelasnya.

Selain pendidikan dasar, sekolah ini juga aktif dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat, advokasi nelayan, dan pelatihan UMKM.
Pendekatan multidimensi inilah yang membuat sekolah ini dilirik secara nasional dan akhirnya masuk nominasi penghargaan bergengsi Indonesia Awards 2025.
Menariknya, Sekolah Pesisi Juang berjalan tanpa dukungan dana dari pemerintah daerah. Namun, semangat gotong royong menjadi bahan bakar utamanya.
“Kami membangun keberlanjutan lewat kolaborasi dan kemitraan,” ungkap Jauhari.
Sekolah ini melibatkan banyak relawan, mulai dari mahasiswa hingga aktivis komunitas untuk membantu mengajar dan mengelola kegiatan. Mereka juga bekerja sama dengan berbagai lembaga, seperti Kawan Muda Iptek dan Siebook.id dalam program kakak asuh bagi siswa.
Keikutsertaan dalam ajang penghargaan nasional juga menjadi jalan baru membuka peluang kemitraan dan dukungan dari berbagai pihak.
“Pengakuan itu memberi semangat baru, sekaligus membuka peluang bagi sponsor dan lembaga yang peduli pendidikan anak pesisir,” katanya.
Harapan dan Langkah ke Depan
Kini, Sekolah Pesisi Juang memiliki sekitar 150 murid aktif. Semua belajar secara gratis di ruang belajar sederhana di Ampenan. Namun, Jauhari mengaku masih memiliki banyak mimpi.
“Yang paling kami butuhkan saat ini adalah lahan yang lebih luas dan fasilitas belajar yang lebih memadai,” ujarnya.
Setelah menjadi finalis Indonesia Awards, Jauhari tak ingin berhenti di situ. Ia menegaskan tujuan terbesarnya adalah menjangkau lebih banyak anak pesisir di Kota Mataram dan NTB, agar mereka bisa mendapatkan pendidikan yang layak dan kesempatan untuk bermimpi lebih tinggi.
“Sekolah ini bukan tentang saya, tapi tentang anak-anak pesisir, anak-anak NTB yang berhak punya masa depan,” tutupnya. (*)