Akademisi Dorong NTB dan Daerah Lain Terapkan “Creative Financing” di Tengah Pengalihan TKD

Mataram (NTBSatu) – Dosen Administrasi Bisnis Universitas Nusa Cendana, Ricky Ekaputra Foeh menilai, kebijakan pengalihan Transfer ke Daerah (TKD), bukan sekadar pengurangan dana, melainkan momentum penting bagi daerah untuk membangun kemandirian fiskal.
“Ini ujian kreativitas fiskal daerah. Pemda harus mulai merancang strategi keuangan baru dengan pendekatan creative financing,” ujar Ricky, Selasa (7/10).
Sebagaimana informasi sebelumnya, NTB dan seluruh daerah di Indonesia merasakan dampak pemotongan TKD oleh Kemenkeu.
Ricky menjelaskan, creative financing bukan sekadar mencari pinjaman baru, melainkan cara mengoptimalkan sumber daya di luar APBD secara inovatif, transparan, dan akuntabel.
“Kuncinya bukan menambah utang, tetapi meningkatkan kemampuan daerah menggerakkan aset dan potensi ekonomi lokal,” tegasnya.
Ia menambahkan, ada dua prasyarat utama agar creative financing berhasil dijalankan: Pertama, kepastian hukum dan tata kelola yang kredibel. Investor tidak akan tertarik bila belum ada regulasi jelas, seperti Perda KPBU atau mekanisme jaminan aset.
Kedua, optimalisasi aset daerah. Banyak daerah masih menyimpan “aset tidur” — lahan, gedung, hingga BUMD pasif — yang sebenarnya bisa dimonetisasi melalui skema asset-backed financing.
Sebelum melangkah ke pembiayaan alternatif, Ricky menegaskan pentingnya meningkatkan kapasitas teknis aparatur daerah.
ASN harus memahami konsep pembiayaan modern seperti public private partnership (PPP), obligasi daerah, dan infrastructure fund — dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas.
“Tanpa kapasitas teknis dan kepercayaan publik, sulit bagi daerah menarik minat investor,” ujarnya.
Langkah awal yang harus dilakukan, kata Ricky, adalah menyusun peta fiskal daerah. Dokumen ini menjadi dasar untuk memetakan aset produktif, potensi PAD, dan ruang efisiensi belanja.
“Banyak daerah bahkan tidak tahu nilai riil asetnya karena data keuangan dan aset tidak terintegrasi,” jelas Ricky.
Dengan peta fiskal yang akurat, Pemda bisa menentukan strategi pembiayaan secara rasional:
proyek yang bisa dibiayai dari APBD, proyek yang layak ditawarkan ke swasta, dan proyek yang bisa dibiayai lewat blended finance.
“Tanpa dasar ini, kebijakan fiskal daerah akan bersifat reaktif, bukan strategis,” kata dia.
Jakarta Jadi Contoh: Membangun Fund untuk Masa Depan
Salah satu daerah yang mulai menjawab tantangan efisiensi fiskal adalah Pemerintah Provinsi Jakarta.
Gubernur Jakarta Pramono Anung dalam keterangan resminya menegaskan, Jakarta akan mengutamakan skema creative financing, untuk menjaga keberlanjutan pembangunan.
“Kami harus melakukan creative financing. Karena itu, kami meminta izin kepada Kementerian Keuangan untuk membentuk Jakarta Collaboration Fund dan mengembangkan skema obligasi daerah,” kata Pramono.
Skema Jakarta Collaboration Fund dirancang sebagai wadah kolaborasi antara pemerintah dan swasta untuk memperluas sumber pembiayaan pembangunan ibu kota.
Selain Collaboration Fund, Pemprov juga menyiapkan Jakarta Fund dengan modal awal Rp3 triliun dari Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) APBD Jakarta. Dana ini akan dikelola secara profesional, tanpa campur tangan ASN atau BUMD.
“Kami ingin menciptakan revenue baru bagi Jakarta,” tegas Pramono.
Menteri Keuangan Purbaya menyambut baik inisiatif ini, dengan catatan agar manfaatnya bisa diperluas ke daerah lain.
“Dia ingin membentuk fund Jakarta yang bisa dipakai tidak hanya di Jakarta, tapi juga di daerah lain. Kami akan mendukung strategi itu,” ujar Purbaya. (*)