
Oleh: Harianto – Jurnalis freelance & Peneliti di Lombok Research Center (LRC)
Langit yang sedikit mendung menghampiri atap-atap rumah warga di Kecamatan Sikur. Di antara permukiman padat penduduk itu saya duduk di sebuah forum kecil yang hangat namun penuh makna. Diskusi bertajuk Dokumen Perencanaan Dalam Perspektif Jurnalis: Review RPJMD Kabupaten Lombok Timur Menuju Pembangunan Inklusif.
Diskusi dengan model atau ala Indonesia Lawyer Club (ILC) di stasiun TVOne itu membuka jendela yang selama ini tertutup rapat di balik tumpukan dokumen perencanaan daerah—jendela yang mengarah pada masyarakat yang tak pernah benar-benar masuk dalam perencanaan.
Acara ini digelar oleh Lombok Research Center (LRC) melalui dukungan program INKLUSI-BaKTI, Sabtu, 21 Juni 2025 lalu. Sebuah ruang diskursif yang mengundang kami—jurnalis, peneliti, aktivis, dan pemangku kepentingan—untuk menguliti kembali arah pembangunan Lombok Timur.
Dari pertemuan itu, saya pulang dengan lima kata yang kini terus berdentang di kepala: keterlibatan, aksesibilitas, partisipasi, keadilan, dan keberlanjutan.
Lima kata itu bukan jargon teknokrat, bukan pula slogan kampanye. Ia adalah alarm dari pinggiran yang selama ini hanya jadi kaki dalam tubuh pembangunan: berjalan tanpa pernah menentukan arah.
Narasi Inklusif yang Belum Lahir
Kabupaten Lombok Timur adalah tanah yang basah oleh harapan dan sekaligus luka pembangunan. Di kecamatan Keruak dan Jerowaru, nelayan kecil dan petani garam masih menunggu keberpihakan.
Di Sembalun dan Suela, petani hortikultura berhadapan dengan iklim ekstrem yang tak terpetakan dalam kebijakan. Di Selong, difabel tak tahu ke mana harus mengadu saat jalan raya bukan untuk mereka.
Semua ini menandai bahwa pembangunan kita masih berbicara dari pusat ke pinggir, dari atas ke bawah. Padahal, narasi inklusif menuntut kebalikannya: dari pinggir ke pusat. Dari suara lirih menjadi pasal-pasal dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Dari jejak kaki buruh tani menjadi arah kebijakan.
RPJMD 2025–2029 di bawah kepemimpinan Iron-Edwin dengan jargon pembangunan Lombok Timur SMART ini menyimpan janji besar. Tapi janji, seperti yang kita tahu, selalu berdiri di persimpangan antara ditepati dan diabaikan. Maka, lima konsep pembangunan inklusif bukan hanya semacam kompas moral, tapi juga tolok ukur keberanian politik untuk mengubah cara pandang.
Kita tidak bisa bicara inklusivitas jika proses perencanaan hanya melibatkan elite dan pemangku kepentingan formal. Keterlibatan berarti membuka pintu bagi suara yang tak biasa hadir: perempuan kepala keluarga, komunitas adat, pekerja sektor informal, penyandang disabilitas, dan kaum muda yang resah tapi tak bersuara.
Mereka harus menjadi bagian dari proses, bukan sekadar objek yang direncanakan. RPJMD mesti menjadi hasil dengar, bukan hanya hasil hitung. Sebab keterlibatan bukan perihal diundang atau tidak, melainkan sejauh mana suara-suara kecil punya ruang untuk membentuk keputusan.
Pembangunan yang tak bisa diakses adalah pembangunan yang gagal. Ini bukan hanya soal fisik—jembatan, jalan, sekolah—tetapi juga akses terhadap informasi, layanan publik, dan keadilan. Banyak kelompok marjinal yang tak tahu apa isi dokumen RPJMD, apalagi memengaruhinya.
Pemerintah mesti belajar berbicara dalam bahasa rakyat. Bahasa yang bisa dimengerti oleh ibu-ibu di pasar Pancor, oleh petani di Sakra, Terara, Masbagik, Sikur, Suela dan Wanasaba, oleh nelayan di Labuhan Haji, Keruak dan Jerowaru dan Pringgabaya ataupun wilayah kecamatan lain yang ada di Kabupaten Lombok Timur. Aksesibilitas juga berarti digitalisasi yang tak eksklusif, dan penyederhanaan informasi yang tak menjauhkan rakyat dari kebijakan.
Partisipasi bukan sekadar menghadiri Musrenbang, menandatangani daftar hadir, atau mendengarkan paparan PowerPoint dari Bappeda. Partisipasi adalah keterlibatan yang sejajar, aktif, dan kritis. Kita butuh ruang deliberatif yang memungkinkan perbedaan suara menjadi kekayaan gagasan, bukan dianggap pengganggu agenda.
Di sinilah jurnalis dan organisasi masyarakat sipil (OMS) punya peran penting. Mengawal proses partisipatif agar tak menjadi seremoni. Memastikan bahwa suara warga menjadi narasi dalam dokumen, bukan hanya catatan kaki. Sebab tanpa partisipasi sejati, RPJMD hanyalah dokumen yang indah di rak, tapi bisu di lapangan.
Inklusivitas adalah anak kandung keadilan. Tak ada pembangunan inklusif jika kesenjangan terus dibiarkan menjadi warisan. RPJMD mesti berpihak secara sadar pada yang tertinggal.
Ini berarti pengalokasian anggaran yang progresif, kebijakan afirmatif untuk kelompok rentan, serta mekanisme evaluasi yang sensitif terhadap ketimpangan.
Keadilan juga berarti membongkar ketimpangan berbasis gender, disabilitas, wilayah geografis, hingga identitas sosial budaya.
Dalam konteks Lombok Timur, ini berarti menjangkau desa-desa pegunungan yang sulit air, komunitas perempuan petani yang tak punya hak atas tanah, atau anak-anak muda yang hidup dalam kekosongan lapangan kerja.
Merancang Hari Esok
Kita sering terjebak pada logika pembangunan yang menambal hari ini dengan utang hari esok. Padahal, keberlanjutan bukan sekadar menjaga lingkungan, tapi juga memastikan regenerasi ide, kepemimpinan, dan daya tahan sosial.
RPJMD harus dilihat sebagai dokumen hidup yang mampu merespons perubahan iklim, dinamika demografi, dan ketidakpastian ekonomi global. Kita butuh rencana jangka menengah yang tidak sempit pada periode kekuasaan, tapi yang lebih luas dalam visi antargenerasi. Lombok Timur tidak dibangun untuk lima tahun, tapi untuk seratus tahun ke depan.
Diskusi yang digelar LRC melalui program INKLUSI-BaKTI itu mungkin hanya berlangsung beberapa jam saja, tapi semestinya menjadi awal dari gerakan yang bernapas panjang.
Gerakan membumikan dokumen perencanaan. Mengubah RPJMD dari teks teknokratis menjadi narasi kolektif. Dari perintah birokratis menjadi mimpi bersama.
Dan bagi kami—jurnalis, peneliti, dan warga biasa—tugas kita adalah menjadi penjaga lima jendela itu. Menulis, bertanya, mengingatkan, dan jika perlu, menggugat. Karena pembangunan inklusif bukan tujuan yang kita capai, tapi cara kita melangkah. Nah, begitu. (*)