Mataram (NTBSatu) – Sunardin bukan nama baru di arena atletik kampus. Mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani, Kesehatan, dan Rekreasi (PJKR) STKIP Taman Siswa Bima 2020 ini, telah memantapkan langkahnya di dunia lari sejak masih duduk di bangku kelas 2 SMKN 1 Woha.
Dari awalnya hanya mengikuti lomba tingkat sekolah, Sunardin kini menjadi salah satu pelari andalan yang mengharumkan STKIP Taman Siswa Bima di tingkat nasional, bahkan internasional.
Sunardin menyampaikan, STKIP Taman Siswa Bima bukan sekadar kampus. Menurutnya, kampus merah ini sebagai pedoman, tempat yang tidak hanya membekalinya secara akademik. Tetapi juga memberi ruang dan dukungan untuk berkembang sebagai atlet.
“Saya yakin Tamsis (STKIP Taman Siswa Bima, red) bisa membantu dan mendukung saya terus untuk berprestasi,” ujarnya.
Dua medali emas dari ajang Kejuaraan Investasi Mahasiswa Nasional di Jakarta dan satu medali perunggu dari Pekan Olahraga Mahasiswa Nasional (Pomnas), menjadi bukti konsistensinya.
“Sangat senang dan bangga karena Tamsis selalu mendorong mahasiswanya yang memiliki bakat, seperti saya,” ucapnya.
Namun, lebih dari sekadar koleksi medali, ada momen yang begitu membekas dalam ingatannya saat tampil di PON (Pekan Olahraga Nasional).
“Itu pengalaman paling berkesan. Berdiri di tengah ribuan penonton, mewakili daerah sendiri, adalah kehormatan besar,” tuturnya.
Latihan Pagi – Sore Sambil Kuliah
Di balik prestasi gemilang itu, perjuangan Sunardin tak semudah kelihatannya. Jadwal padat sebagai mahasiswa dan atlet membuatnya harus mengatur waktu seefektif mungkin.
Latihan pagi mulai pukul 5, lalu kuliah hingga siang, dan berlanjut latihan sore. Jika ada kegiatan lain yang bertabrakan, ia mengaku harus merelakan salah satunya.
“Saya manusia biasa, tidak bisa kerjakan tiga kegiatan sekaligus. Harus ada yang dikorbankan,” katanya.
Saat rasa lelah datang, bahkan ketika semangat mulai memudar, Sunardin punya satu cara untuk kembali bangkit yakni mengingat ibunya.
“Sejak 2018, saya tidak pernah mau ikut lomba kalau belum telepon ibu minta doa,” kenangnya.
Namun, pada Oktober 2024, sang ibu menghembuskan napas terakhir setelah koma beberapa hari. “Saya langsung pulang dari Jakarta. Saat itu saya benar-benar merasa kehilangan,” ucapnya pelan, menunduk.
Meski begitu, semangat ibunya tetap hidup dalam dirinya. “Dari beliau saya belajar, bahwa setiap lomba harus diperjuangkan. Karena ibu akan selalu bangga jika saya juara,” tuturnya dengan suara bergetar.
Kini, setelah resmi menyelesaikan studinya dan menyandang gelar sarjana, Sunardin menyebut wisuda sebagai simbol kemenangan atas perjuangan panjang.
“Satu-satunya yang bisa mencegahmu jadi sarjana adalah dirimu sendiri,” ucapnya bijak.
Ia pun telah menyusun langkah berikutnya, yakni mempersiapkan diri lebih matang untuk PON NTB 2028. Sunardin ingin tampil sebagai tuan rumah yang membanggakan daerah.
Untuk mahasiswa lain yang sedang berjuang meraih impian di luar akademik, ia memberikan pesan sederhan dengan makna kuat.
“Tiada musuh selain diri kita sendiri. Kita harus belajar mengalahkan diri sendiri sebelum bertanding,” tutupnya. (*)