Mataram (NTBSatu) – Jaksa menyebut adanya dugaan mark up atau kelebihan harga dalam kasus pembelian lahan Sirkuit MXGP Samota, Sumbawa seluas 70 hektare.
“Dugaan korupsinya dalam penanganan perkara ini, adanya mark up dalam pembelian tanah,” kata Kepala Kejati NTB, Enen Saribanon, Rabu, 7 Mei 2025.
Diketahui, lahan puluhan hektare itu sebelumnya milik Mantan Bupati Lombok Timur, Ali Bin Dachlan (BD). Pemkab Sumbawa membeli dan menjadikannya sebagai tempat penyelenggaraan Sirkuit MXGP.
Enen menyebut, tidak hanya mark up. Ada juga dugaan bahwa pembelian lahan itu melanggar prosedur. Di antaranya penyalahgunaan wewenang.
“Ada mark up dan juga ada prosedur penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan. Seperti itu,” ucapnya.
Kasus ini terus berjalan di tahap penyidikan. Jaksa telah memeriksa sejumlah saksi-saksi. Termasuk di antaranya Ali BD dan anaknya. Pemeriksaan ayah dan anak itu berlangsung pada Selasa, 6 Mei 2025 kemarin.
Kepala Kejati menjelaskan, eks Bupati Lombok Timur dua periode itu menjalani pemeriksaan sebagai salah satu pemilik lahan.
“Tanahnya Ali BD yang paling luas dan paling besar yang dilakukan pembayaran dalam pembebasan tanah tersebut,” ungkapnya.
Pembelian lahan itu melibatkan tim appraisal, dan jaksa telah memeriksanya.
Enen mengaku pihaknya belum menetapkan tersangka. Penyidik masih mendalami dengan memeriksa para saksi. Agendanya, jaksa akan meminta keterangan ahli.
Begitu juga dengan penghitungan kerugian keuangan negara. Dalam hal ini Adhyaksa menggandeng Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) NTB.
“Saat ini kami dalam menuju proses penghitungan kerugian negara,” katanya.
Pengakuan Ali BD
Sebelumnya, Ali BD mengaku tidak mengetahui apa yang Kejati NTB usut. Ia merasa tak bersalah, karena berperan sebagai penjual.
Ali BD pun mengaku bahwa penjualan sesuai prosedur. Lebih-lebih lagi telah dilakukan appraisal.
“Prosesnya benar, karena kan ada appraisalnya kan. Pembayaran secara konsinyasi di pengadilan karena ada orang menggugat,” tegasnya.
Pemkab Sumbawa membeli lahan 70 hektare menggunakan anggaran daerah. Dari sana, pihak penjual menerima Rp53 miliar. Ali BD sendiri menerima Rp32 juta.
“Sisanya anak-anak. Kan 3 nama (anak-anaknya),” ujarnya.
Ia mengatakan, penjualan lahan seluas 70 hektare itu tidak sesuai harga. Seharunya per hektare Rp2 miliar, namun pemerintah daerah saat itu membelinya di bawah harga patokan. Nilainya bervariasi. Ada yang Rp300 juta hingga Rp400 juta.
“Rugi amat. Pembayarannya sudah selesai,” ucap Bupati Lombok Timur periode 2003-2008 dan 2013-2018 itu. (*)