Mataram (NTBSatu) – Wacana kepala daerah dipilih DPRD kembali mencuat. Namun, hal tersebut, justru memicu penolakan dari salah satu pengamat politik NTB, Dr. Alfisahrin.
Alfisahrin mengatakan, wacana tersebut merupakan langkah mundur demokrasi dan ide lama yang terdaur ulang. Sebab pada tahun 2005, kepala daerah pernah dipilih oleh DPRD. Namun, hal itu justru menjadi arena transaksi terselubung calon kepala daerah dengan sejumlah anggota DPRD.
“Itu sama saja seperti memindahkan lumbung uang calon bupati, wali kota dan gubernur ke kantong-kantong DPRD. Makin banyak kader suatu partai besar, misalnya Golkar, PDIP, Gerindra dan PAN, bisa membuat makin besar keuntungan yang diraup. Dan semakin sedikit kader suatu partai, makin sedikit pula akses uang yang mereka peroleh,” ungkapnya.
Sehingga, DPRD yang memilih kepala daerah justru dapat memicu ketidakadilan serta rawan korupsi dan kolusi. Menurut Alfisahrin, Pilkada langsung masih relevan dengan semangat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pilkada langsung.
Aturan tersebut bertujuan untuk menghasilkan kepala daerah yang dekat dengan masyarakat, sehingga memiliki legitimasi langsung yang kuat. Juga, mendekatkan pelayanan dan meningkatkan partisipasi publik. Serta, menghasilkan kepala daerah yang kredibel.
Maka, masalah kelembagaan politik di DPRD yang masih tinggi, serta praktik dan indeks korupsi yang juga masih tinggi membuat lembaga legislatif yang memilih kepala daerah sama saja seperti menitip ayam pada musang.
Ia tidak menggeneralisasi bahwa DPRD buruk. Hanya saja, sejumlah riset menunjukan bahwa tindakan korupsi masih tinggi di parlemen. Sehingga, belum tepat jika kebijakan pemilihan kepala daerah oleh DPRD kembali berlaku.
“Jika alasannnya Pilkada menggunakan pembiayaan yang cukup tinggi, justru semestinya memperbaiki kelembagaan politik terlebih dahulu. Negara wajib memberikan insentif biaya operasional partai politik. Agar tidak membajak dan memeras calon kepala daerah yang akan partai usung,” saran Alfisahrin.
Optimalkan Fungsi Pendidikan Politik Partai
Selain itu, negara mesti mengoptimalkan fungsi pendidikan politik, agregasi, dan komunikasi politik partai. Tujuannya, agar publik makin teredukasi dan rasional dalam menentukan pilihan politik. Jadi, menurutnya, belum terdapat dasar logis dan konstitusional untuk menggeser mekanisme Pilkada langsung untuk dipilih DPRD.
Ia menyebutkan, hal itu merupakan ide absurd dan anakronistis dengan perjalanan reformasi dan demokrasi politik di Indonesia yang sudah inklusif dan mapan pasca-rezim Suharto tumbang.
Meskipin begitu, ia mengakui adanya ekses dan implikasi negatif Pilkada. Misalnya biaya tinggi, rawan konflik horizontal, polarisasi dan menguatnya politik identitas.
Namun, solusi dari permasalahan tersebut bukanlah tiba-tiba membongkar pasang aturan dan sistem yang ada tanpa kajian komprehensif. Alfisahrin lebih mendorong penyelenggaraan Pilkada tetap secara langsung, tapi memerlukan peningkatkan kapasitas, kesiapan, dan reputasi kelembagaan politik.
“Harus memperbaiki sistem rekrutmen kader parpol, komisioner KPU dan Bawaslu agar jangan lagi terdapat orang-orang titipan. Ormas keagamaan, kepemudaan dan sosial lainnya harus memiliki peran konkret dalam ikut mengawal proses Pilkada langsung. Supaya tak ada lagi intrik, propaganda dan kampanye hitam yang memicu perang psikis, simbolik, dan adu kekuatan logistik yang pragmatis,” jelasnya.
Pilkada langsung merupakan manifestasi dari kedaulatan masyarakat. Sehingga, tak boleh direduksi oleh perantaraan DPRD. Penolakan pemilihan kepala daerah oleh DPRD sejak tahun 2015 bukan tanpa dasar. Melainkan karena banyak penyalahgunaan wewenang dan otoritas di parlemen, yang membuat publik kehilangan kepercayaan kepada DPRD.
Hal itu merupakan realitas pahit yang harus menjadi masukkan dan pertimbangan serius, agar ide dan gagasan kepala daerah dipilih DPRD sebaiknya dibatalkan.
“Presiden Prabowo harus menghindari kebiasaan buruk gonta-ganti aturan tanpa kajian akademis. Aneh saja kebijakan usang akan terpakai lagi. Pilkada langsung harus dianggap sebagai berkah demokrasi. Sehingga putra daerah punya akses untuk berkuasa lewat cara-cara demokratis bukan dengan lobi, negosiasi, dan transaksi di ruang gelap perantara makelar kekuasaan,” tandas Alfisahrin. (*)