Mataram (NTBSatu) – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyoroti sejumlah kerawanan dari sisi perencanaan dan penganggaran di NTB. Salah satunya dalam pengelolaan dana pokok pikiran (Pokir) anggota DPRD.
Kasatgas Korsup Wilayah V KPK, Dian Patria menyebut, Pokir seharusnya menjadi program berbasis pada kebutuhan masyarakat. Namun dalam praktiknya, banyak pihaknya temukan adanya penyalahgunaan. Bahkan alirannya sampai kepada yayasan fiktif.
“Kami menemukan sejumlah pelanggaran, seperti hibah uang yang tidak jelas dasarnya, yayasan fiktif, dan indikasi adanya fee atau praktik ijon. Ini tidak hanya menyimpang dari tujuan pembangunan, tetapi juga membuka celah korupsi,” ungkapnya saat Sosialisasi Pencegahan Korupsi atas Pengelolaan Anggaran Pokir di Mataram, Kamis, 21 November 2024.
Padahal, jika mengacu Permendagri Nomor 86 tahun 2017, peruntukkan Pokir DPRD seharusnya sebagai saran dan pendapat berdasarkan hasil reses atau penjaringan aspirasi masyarakat. Sebagai bahan perumusan kegiatan, lokasi kegiatan, dan kelompok sasaran yang selaras dengan pencapaian sasaran pembangunan yang telah Peraturan Daerah tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) tetapkan.
Unutuk Kota Mataram, sambung Dian, pihaknya mencatat ada beberapa penyimpangan Pokir. Di antaranya, pengajuan yang tidak sesuai prosedur, perubahan setelah pembahasan anggaran. penyaluran hibah uang kepada yayasan yang tidak jelas legalitasnya.
“Bahkan ada indikasi milik anggota DPRD sendiri hingga tidak ada pertanggungjawaban yang sesuai fakta atas belanja hibah dan bansos,” ungkapnya.
Tahun 2024, total anggaran Pokir DPRD Kota Mataram mencapai Rp92 miliar. Sementara pada realisasinya baru 50,1 persen atau Rp46 miliar. Alokasinya untuk 25 OPD. Sayangnya, kata Dian, sebagian besar Pokir ini digunakan dalam bentuk hibah uang, bukan program.
Jadi Temuan BPK
Praktik-praktik beberapa kali menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) NTB. Misalnya, ada yayasan fiktif dan hibah yang tidak sah, sementara bantuan sosial sering disalurkan tanpa prosedur yang benar.
“Satu anggota dewan itu pakai Pokir Rp3 miliar. Ada juga dapilnya di Kota Mataram tetapi Pokirnya di Sumbawa. Ini kan ada indikasi fraud dan dugaan jual-beli Pokir,” jelasnya.
Karenanya, KPK mengimbau anggota dewan tidak lagi melakukan hal serupa. Ia merekomendasikan adanya perbaikan tata kelola perencanaan dan penganggaran agar selaras dengan aturan. Pokir harus berupa program sesuai rancangan OPD.
“Sesuai dengan aspirasi masyarakat dan melarang penyisipan program yang tidak relevan ke dalam RKPD dan RPJMD,” jelasnya mengingatkan.
Pengendalian konflik kepentingan, sambung Dian, juga tak kalah penting. Tujuannya agar menghapus praktik titipan proyek atau jatah anggaran. Serta memastikan usulan Pokir melalui mekanisme e-Planning pada Sistem Informasi Pemerintahan Daerah (SIPD).
“Terakhir, perlu adanya pengawasan dan investigasi lanjutan, seperti melakukan Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu (PDTT) untuk menindaklanjuti temuan ketidaksesuaian perencanaan dan penganggaran. Hasil pemeriksaannya wajib disampaikan ke KPK paling lambat 15 Desember 2024,” tutupnya. (*)