ADVERTORIALBappeda NTB

Sosialisasi Gempur Rokok Ilegal di Mataram Ekonomi Kreatif Festival 2024

Mataram (NTBSatu) – Sosialisasi akan bahaya rokok ilegal menjadi upaya preventif yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mengurangi peredaran barang tersebut di tengah masyarakat.

Bea Cukai Mataram bersinergi dengan Dinas Pariwisata Kota Mataram melakukan sosialisasi Gempur Rokok Ilegal pada acara Mataram Ekonomi Kreatif Festival 2024 di Teras Udayana, Kota Mataram, Minggu, 16 November 2024.

Di mana rangkaian acara tersebut menampilkan 17 sub sektor ekonomi kreatif yang ada di Kota Mataram. Meliputi sektor kuliner, kriya, garmen, seni pertunjukan, musik, dan skrining film.

Terkait dengan giat gempur rokok ilegal, Kepala Seksi Kepatuhan Internal dan Penyuluhan, Adi Cahyanto, menekankan bahwa masyarakat harus mengenali ciri-ciri rokok ilegal dan juga dampak negatif yang ditimbulkan. Sehingga, untuk tidak membeli atau menjual rokok ilegal.

“Kita bisa melihat rokok yang ilegal dengan ciri – ciri harga yang murah, kemudian tidak ada pita cukainya, atau ada pita cukai tapi tidak sesuai peruntukkannya (pita cukai bekas) dan atau pita cukai palsu,” jelas Adi. 

Selain sosialisasi, pemberantasan rokok illegal juga dilakukan melalui Operasi Pasar (Opsar) yang bekerjasama dengan Satpol PP Pemda kabupaten/kota di Pulau Lombok.

Berdasarkan Data BHP Operasi Gabungan KPPBC TMP C Mataram bersama Satpol PP Mataram, telah diamankan 12.776 batang rokok ilegal dengan perkiraan nilai barang Rp14,8 juta serta potensi kerugian negara Rp7,9 juta selama periode 1 Januari-7 November 2024.

Mengenal Cukai dan Ketentuannya

Cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.

Kemudian, ada beberapa kriteria sehingga barang-barang tertentu dapat dikenakan cukai, yaitu konsumsinya perlu dikendalikan; peredarannya perlu diawasi; pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup; atau pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan. Hal ini juga diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.

Untuk diketahui, hasil tembakau merupakan barang yang dikenai cukai bertarif paling tinggi. Berikut ketentuannya:

A. Untuk yang dibuat di Indonesia:

275% (dua ratus tujuh puluh lima persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual pabrik.
57% (lima puluh tujuh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual eceran.

B. Untuk yang diimpor:

275% (dua ratus tujuh puluh lima persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah nilai pabean ditambah bea masuk

57% (lima puluh tujuh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual eceran.

Tarif cukai dapat diubah dari persentase harga dasar menjadi jumlah dalam rupiah untuk setiap satuan barang kena cukai atau sebaliknya atau penggabungan dari keduanya. Sebagaimana definisi dan kriteria barang kena cukai, tarif cukai juga diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.

Larangan dan Sanksi

Sebagai informasi, salah satu pelanggaran terhadap cukai adalah peredaran rokok ilegal. Pengedar ataupun penjual rokok ilegal termasuk melakukan pelanggaran yang dapat berpotensi sebagai pelanggaran pidana. Sanksi untuk pelanggaran tersebut mengacu pada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.

Ancaman pidana ini teratur dalam pasal 57 dan pasal 58 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai. Bunyi pasal tersebut sebagai berikut:

Dalam Pasal 57, “Setiap orang yang tanpa izin membuka, melepas, atau merusak kunci, segel, atau tanda pengaman sebagaimana diatur dalam undang-undang ini dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan dan/atau pidana denda paling sedikit Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

Dalam pasal 58, “Setiap orang yang menawarkan, menjual, atau menyerahkan pita cukai atau tanda pelunasan cukai lainnya kepada yang tidak berhak atau membeli, menerima, atau menggunakan pita cukai atau tanda pelunasan cukai lainnya yang bukan haknya dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan/atau pidana denda paling sedikit 2 kali nilai cukai dan paling banyak 10 kali nilai cukai yang seharusnya dibayar.”

Pemanfataan Hasil Cukai

Kepala Seksi Kepatuhan Internal dan Penyuluhan Bea Cukai Mataram, Adi Cahyanto mengatakan, cukai adalah instrumen penerimaan negara. Selain pengendalian, cukai dapat berdampak pada penerimaan negara. Karena, terdapat pungutan yang masuk ke negara melalui cukai.

“Jadi, cukai bermanfaat untuk mengawasi peredaran. Apabila tidak terdapat pita cukai dalam bungkus rokok, kami akan melakukan penindakan,” beber Adi.

Sebagai informasi, salah satu pemanfaatan cukai berupa DBH-CHT yang teralokasikan setiap tahun di berbagai daerah, termasuk NTB.

Menurut Kepala Bappeda NTB, Dr. H. Iswandi, NTB memperoleh DBH-CHT lantaran menjadi salah satu daerah yang paling produktif memproduksi tembakau dan menghasilkan cukai.

“Pemerintah provinsi serta pemerintah kota dan kabupaten harus bersinergi agar pemanfaatan DBH-CHT dapat tepat sasaran,” pungkas Iswandi. (*)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button