Mataram (NTBSatu) – Perkumpulan FITRA Nusa Tenggara Barat (NTB), telah merampungkan Survei Kepemimpinan Daerah (Supimda) Tahun 2024 dengan mengambil lokasi survei di Kabupaten Lombok Tengah.
Survei ini berlangsung dari 9-12 November tersebut. Tujuannya, memetakan isu-isu prioritas warga, potensi kerawanan politik uang, dan preferensi pemilih pada Pilkada serentak 2024.
Survei ini berhasil memetakan temuan-temuan kunci sebagai referensi para kandidat jika terpilih untuk merumuskan kebijakan strategis daerah lima tahun mendatang.
Di sisi lain, temuan tingkat kerawanan politik uang juga, dapat memberikan informasi bagi lembaga pengawas Pemilu. Dalam hal ini untuk meningkatkan kerja pengawasan dalam mewujudkan Pilkada bersih dan berintegritas.
Direktur FITRA NTB, Ramli Ernanda menyampaikan, para kandidat dan tim sukses sebaiknya tidak berfokus pada polemik tingkat elektabilitas kandidat masing-masing dari hasil survei Fitra NTB. “Justeru, isu kunci dari hasil survei kami yang jauh lebih penting untuk diatensi. Mencakup isu prioritas masyarakat dan potensi kerawanan politik uang pada Pilkada serentak 2024 ini,” kata Ramli dalam keterangan resminya, Sabtu, 16 November 2024.
Berdasarkan hasil survei Fitra NTB, terdapat lima isu menurut masyarakat yang harus menjadi prioritas para kandidat jika terpilih dalam kebijakan strategis pembangunan daerah lima tahun ke depan. Yang mana mencakup pemenuhan akses dan kualitas layanan sosial dasar dan penyediaan lapangan kerja.
Adapun lima isu paling prioritas menurut masyarakat yang harus menjadi atensi pasangan kepala daerah ke depan di antaranya. Pertama, Penyediaan lapangan kerja (64,3 persen), Peningkatan layanan pendidikan (64 persen), Peningkatan layanan kesehatan (63,8 persen). Kemudian, Peningkatan infrastruktur jalan (60 persen), dan Penyediaan akses air bersih (59,5 persen).
Pembinaan UMKM Masuk Isu Prioritas
Selain lima isu tersebut, kelompok pemilih perempuan juga sangat memprioritas pembinaan UMKM (55,4 persen). Karena, berdasarkan data Kemenkop UKM, jumlah pelaku UMKM perempuan sekitar 60 persen dari total UMKM.
“Sehingga, sebaiknya para kandidat dan tim sukses berfokus mengampanyekan program unggulan masing-masing secara jelas dan konkret kepada masyarakat untuk lima isu strategis tersebut,” jelasnya.
Pendekatan ini akan sangat baik bagi para kandidat dan tim pemenangan untuk beradu ide dan gagasan yang konkret dalam memenangkan suara pemilih. Hal ini menjadi keuntungan dengan temuan bahwa tipologi pemilih separuhnya tergolong rasional.
“Misalnya, bagaimana para kandidat akan menciptakan lapangan kerja, atau menyelesaikan persoalan akses air bersih yang masih rendah,” ujar Ramli.
Akses air bersih yang rendah berdampak pada buruknya kualitas kesehatan masyarakat. Serta, terkurasnya keuangan rumah tangga miskin karena membeli air dengan harga yang tinggi, khususnya di kawasan pesisir.
Berdasarkan hasil kajian anggaran sektor air bersih dan sanitasi oleh Fitra NTB bulan lalu, alokasi anggaran penyediaan air bersih masih sangat kecil.
Di Provinsi NTB hanya sekitar 0,6 persen dari APBD NTB, dan di Kabupaten Lombok Timur sekitar 1,4 persen dari APBD. Dengan alokasi yang terbatas, INPRES 1/2024 tentang Percepatan Penyediaan Air Minum dan Layanan Pengelolaan Air Limbah Domestik akan sulit terealisasi.
Bawaslu Awasi Politik Uang
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) agar meningkatkan upaya pengawasan pelanggaran tindak pidana pemilu. Khususnya, praktik politik uang atau membeli suara pemilih (vote buying). Baik menggunakan barang maupun uang. Selain itu, juga penggunaan fasilitas negara, APBD dan pengerahan ASN untuk kepentingan kandidat tertentu.
Berdasarkan hasil Supimda 2024 ini, sekitar 10 persen responden menyatakan, akan merubah keputusan politiknya. Jika mendapatkan barang atau uang dari kandidat atau timsesnya.
Meskipun angka permintaan (demand) politik uang oleh pemilih tercatat kecil. Namun dengan ketatnya persaingan antar kandidat diprediksi sisi penawaran (supply) akan cukup tinggi. Bentuk beli suara yang paling banyak prediksi FITRAH NTB adalah dalam bentuk uang, berikutnya sembako.
“Angka pemilih yang menganggap politik uang sebagai praktik wajar tergolong tinggi, yaitu sekitar 33,75 persen,” jelas Ramli.
Sementara itu, tingkat kesadaran pemilih untuk melaporkan praktik politik uang pada Pilkada serentak 2024 ini sangat rendah (6,25 persen).
Karena itu, lanjut Ramli, pengawasan politik uang atau vote buying oleh Bawaslu agar difokuskan di wilayah-wilayah dengan profil pemilih paling berisiko.
Kelompok paling berisiko sebagai sasaran politik uang adalah pemilih dengan tingkat pendidikan tamatan SD (53,3 persen). Kelompok pekerja informal (56,7 persen), ibu rumah tangga (30 persen). Serta, pemilih dengan tingkat pendapatan kurang dari Rp1 juta (90 persen).
Survei Kepemimpinan Daerah (Supimda) 2024
Survei Kepemimpinan Daerah (Supimda) 2024 dilaksanakan secara mandiri oleh Fitra NTB. Secara umum bertujuan untuk memotret opini publik terkait kinerja pemerintahan. Kemudian, memetakan isu-isu warga, preferensi pemilih serta potensi kerawanan politik uang atau vote buying pada Pilkada serentak 2024.
“Survei ini bukan survei politik khusus untuk memetakan tingkat popularitas dan elektabilitas para kandidat. Pemetaan preferensi dan elektabilitas para kandidat dalam survei ini dimaksudkan untuk kepentingan pemetaan aktor kunci dalam advokasi isu-isu prioritas warga, dan pemetaan risiko kerawanan politik uang atau vote buying,” pungkasnya. (*)