Mataram (NTBSatu) – Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB kembali menetapkan tersangka dugaan korupsi Kredit Usaha Rakyat (KUR) Bank Syariah Indonesia (BSI) tahun 2021-2022.
Kasi Penerangan Hukum Kejati NTB, Efrien Saputera mengatakan, penyidik pidana khusus (Pidsus) menetapkan empat tersangka tambahan korupsi KUR BSI. “Iya, ada empat orang yang kami jadikan tersangka baru,” katanya kepada NTBSatu Rabu, 14 Agustus 2024.
Keempat tersangka baru itu, sambung Efrien, masing-masing berinisial DR, MSZ, MS dan M. Efrien menyebut, tersangka merupakan offtaker pada KUR BSI 2021-2022 tersebut.
Dengan begitu, total tersangka dugaan korupsi selama dua tahun ini berjumlah enam orang. Sebelumnya, penyidik Pidsus Kejati NTB telah menetapkan dua orang inisial SE dan WKI, pejabat Banks Syariah Indonesia.
Efrien mengaku pihaknya tidak menahan para tersangka. “Mengenai tahan tidaknya itu kewenangan penyidik,” jawabnya.
Peran dua tersangka pertama
Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati NTB, Elly Rahmawati menyebut, dua tersangka itu masing-masing berinisial SE dan WKI. Keduanya merupakan pejabat di bank plat merah tersebut.
“Mereka berperan sebagai pejabat utama di dua cabang,” kata Elly kepada wartawan di Ruang Media Center Kejati NTB, Selasa, 28 Mei 2024.
Dua orang itu ditetapkan sebagai tersangka dalam berkas penyidikan berbeda. SE merupakan pejabat utama di salah satu cabang BSI. Sementara WKI dari cabang lain. Elly enggan membeberkan keduanya dari cabang mana saja.
Namun, yang pasti kedua pejabat BSI tersebut diduga menyalahgunakan kewenangannya dalam penyaluran dana KUR untuk kelompok tani yang memproduksi porang dan sapi.
“Pokoknya ada penyimpangan, ada yang fiktif ada yang tidak, itu terkait (dana KUR) sapi dan porang,” jelasnya.
Penetapan tersangka terhadap keduanya setelah penyidik menemukan indikasi Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dan kerugian negara (KN).
Untuk penyaluran di Mataram, kerugian negara Rp8,3 miliar. “Cabang satunya lagi, indikasi kerugiannya Rp13 miliar,” bebernya.
Penyidik kejaksaan menggandeng Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) NTB. Hal itu untuk memastikan angka pasti kerugian negara kasus yang berjalan dua tahun ini. Apalagi jaksa menetapkan pasal 2 dan 3 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
“Makanya kami harus memenuhi unsur kerugian keuangan negara dengan melakukan koordinasi dan secara intensif dan berikan data ke auditor BPKP,” jelas Elly. (*)