Opini

Perempuan, di Antara Diplomator Ulung atau Alat Diplomasi

Oleh: Ni Putu Virgi Eka Ayu Rasta – Ketua PD KMHDI NTB

Jika berbicara tentang diplomasi figur simbolis ‘diplomat’ itu sendiri selalu dikaitkan dengan sifat maskulinitas dan dunia laki-laki. Sesuatu yang berbeda ketika seorang diplomat tersebut adalah perempuan. Mengingat bahwa sistem patriarki di Indonesia masih ada dan bahkan isu feminisme di dunia internasional. Perempuan menjadi kaum yang rentan isu kesetaraan gender dibanding laki-laki. Sehingga, terlibat dalam bidang apapun, perempuan akan kerap mendapatkan tantangan yang berbeda atau bahkan lebih dibanding laki-laki. Terutama dalam hal diplomasi, baik dalam kegiatan organisasi, dunia peraktivisan atau bahkan profesional.

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), diplomasi sendiri memang berarti penyelenggaraan resmi hubungan antara satu negara dengan yang lainnya. Diplomasi juga dapat diartikan sebuah praktik dalam mempengaruhi keputusan dan perilaku dalam menjalin relasi dengan pihak lain, baik itu pemerintah asing atau organisasi insternasional, melalui sebuah dialog maupun negosiasi.

Tidak banyak perempuan menempati posisi diplomat Indonesia karena stereotip gender yang dibebankan kepadanya. Tapi setiap perempuan menurutku adalah diplomator ulung karena mempunyai karakteristik berupa sifat nurturing dan look into details yang sangat membantu proses pelaksanaan setiap tujuan diplomasi. Perempuan juga memiliki keunggulan dalam soft power diplomacy yang menggunakan pendekatan dialog dan negosiasi untuk menyelesaikan masalah. Ini menjadi suatu kelebihan untuk pemimpin perempuan yang ingin melakukan lobby terhadap berbagai bidang.

Perempuan memberikan kontribusi yang kuat dalam praktik diplomasi. Kepekaan sosial hingga pemahaman tentang dinamika lintas budaya yang dimiliki perempuan menjadi sebuah keunikan dalam praktik diplomasi. Hal ini mengartikan bahwa perempuan mempunyai peran yang penting dalam setiap ruang untuk tugas diplomasi. Bukan saja dalam ruang politik tetapi juga dalam bisnis, organizer maupun organisasi.

Namun, di sisi lain ketika ada perempuan dalam proses diplomasi tak jarang justru timbul anggapan negatif, seolah-olah perempuan hanya pelengkap. Di beberapa kegiatan contohnya dalam hal audiensi dengan instansi, perempuan di anggap ampuh untuk menarik minat kerjasama kedua belah pihak.

Kata-kata seperti, “senyumin aja” atau “kedipin aja” acapkali menjadi gurauan yang bisa mengekang perempuan untuk bertindak sama seperti laki-laki dalam hal diplomasi. Rasanya senyum adalah ibadah menjadi konotasi negatif dalam hal ini.

Selain itu keberadaan perempuan dalam beberapa bidang yang cukup intens untuk melakukan negosiasi dianggap minoritas sehingga menjadi point of view dalam setiap pertemuan. Tapi kategori sorotan ini justru hanya dari segi pandangan, bukan dari pemikiran. Perempuan dianggap mampu merayu hanya dengan matanya. Dianggap mampu memenangkan negosiasi hanya dengan ucapan salamnya.

Hal ini menimbulkan persepsi bahwa perempuan hanyalah ‘alat diplomasi’ untuk mewujudkan tujuan tertentu. Bukan dilihat dari ide yang diberikan dan ditawarkan tetapi dari paras, penampilan dan standard beauty yang diterapkan Indonesia.

Menjadi hal yang sulit untuk perempuan ketika memiliki karakteristik yang mampu menjadi diplomator ulung justru di kekang dengan anggapan harus bekerja dalam hal domestik. Tumbuh di negara yang masih penuh dengan isu kekerasan seksual, ketidaksetaraan gender dan sistem patriarki harus membuat perempuan bisa bertindak lebih dari anggapan yang ada. Jangan mau hanya menjadi pelengkap dalam suatu pertemuan, menuntut ruang dan memberikan ide adalah sebuah keharusan.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button