Mataram (NTBSatu) – Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi NTB ingatkan partai politik untuk tidak menarik mahar politik kepada kontestan Pilkada.
Komisioner Bawaslu NTB Hasan Basri, mengatakan mahar politik menjadi hal yang diwaspadai terjadi menjelang masa pendaftaran bakal calon kepala daerah.
Isu terkait mahar politik sering kali berembus dalam proses pencalonan. Kandidat bakal calon kepala daerah diminta setor sejumlah uang untuk membayar partai pemilik kursi. Bahkan tarifnya beragam, ratusan juta hingga miliaran per kursi.
Mahar dimaksud, yakni imbalan yang diberikan oleh perseorangan atau lembaga kepada partai politik dalam porses pencalonan kepala daerah. Bukan hanya dilakukan oleh Parpol, mahar politik juga kerap disuguhkan oleh kandidat supaya bisa mendapat rekomendasi.
Untuk itu yang diatur hanya soal dana kampanye selain itu ilegal.
“Maka ada laporan awal dana kampanye penggunaan dana kampanye dan pengakhiran dana kampanye. Mahar itu tidak ada dalam regulasi dan tidak di perbolehkan oleh undang udang juga,” terangnya kepada NTBSatu Kamis, 27 Juni 2024.
Adapun regulasi yang mengatur soal pendanaan partai politik tertera pada UU Nomor 10 Tahun 2016.
“Anggota partai politik atau anggota gabungan partai politik yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang melawan hukum, menerima imbalan dalam bentuk apapun, pada proses pencalonan Gubernur dan wakil Gubernur, Bupati dan wakil Bupati, serta Walikota dan wakil Walikota dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 bulan dan denda paling sedikit Rp 300 juta dan paling banyak Rp 1 miliar,” tulis UU tersebut.
Untuk itu, ia berharap agar proses melahirkan kepemimpinan di NTB ini, selalu mengedepankan moral dan etika. Dan partai politiklah yang menjadi benteng utamanya.
“Kita berharap inikan mau melahirkan pemimpin saya selalu menggambarkan seperti ini anda bisa bayangkan dalam proses seleksi kepala daerah ini sudah main uang diawal mereka harus bayar sekian, kemudian pada kampanye dia bayar sekian itu dia akan menghabiskan uang berapa ratus milyar,” ujarnya.
“Kalau ratusan milyar dia habiskan selama 5 tahun berapa sih gajinya kepala daerah, berapasih tunjangannya kepala daerah. Dia pasti akan cari jalan lain agar mencukupi cost tadi mahar politik ini,” pungkasnya.
Ia menilai jika itu benar adanya maka partai politik itulah penyumbang terbesar perilaku-perilaku korupsi kepala daerah maupun wakil kepala daerah.
“Gimana orang mau bekerja misalnya anggaran untuk pembangunan tenyata yang melahirkan pemimpin koruptif ya partai politik itu sendiri. Melalui mahar-mahar politik itu soal etika,” terangnya.
“Himbauan kami sebaiknya jangan karena kasian pemimpin yg dilahirkan ini dia tidak memikirkan rakyat ketika dia jadi tapi dia memikirkan untuk kembalikan modal. Ulahnya siapa ulahnya partai politik,” tandasnya.