Mataram (NTBSatu) – Pengusaha dan Buruh kompak menolak iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang saat ini tengah menjadi perbincangan hangat, usai Presiden Jokowi menerbitkan revisi PP Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat.
Dalam pasal 15 ayat 2 peraturan tersebut, menyebutkan gaji karyawan akan dipotong 3 persen untuk simpanan Tapera. Di mana peserta pekerja ditanggung bersama oleh pemberi kerja sebesar 0,5 persen dan pekerja sebesar 2,5 persen.
Hal ini memicu reaksi keberatan dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), lantaran tanggungan pemberi kerja dinilai sudah sangat banyak.
“Saat ini, beban pengutan yang telah ditanggung pemberi kerja sebesar 18,24-19,74 persen dari penghasilan pekerja,” kata Ketua Umum Apindo, Shinta Kamdani dalam keterangannya, ditulis NTBSatu, Rabu, 29 Mei 2024.
Ia memaparkan ada 3 pungutan yang harus diberikan para pemberi kerja yaitu Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, Jaminan Sosial Kesehatan, dan
Cadangan Pesangon.
Ditambah lagi dengan perekonomian yang sedang lesu, terlihat dari pelemahan rupiah dan turunnya permintaan pasar, membuatnya para pengusaha kocar-kacir untuk mempertahankan bisnis mereka.
“Beban ini semakin berat dengan adanya depresiasi rupiah dan melemahnya permintaan pasar,” ungkap Shinta.
Berita Terkini:
- Pembahasan Cepat Kilat, Logis Ragukan Kualitas APBD NTB 2025
- Mantan Sekda NTB Muhammad Nur Tutup Usia
- Setelah Kota Bima, TNI Ringkus Bandar Narkoba di Dompu
- KPK Buka Peluang Pengaduan Kasus Budidaya Mutiara PT Autore Lombok Timur
- Kota Bima Dikepung Banjir Sore ini
Sementara Presiden Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (DPP ASPEK Indonesia), Mirah Sumirat menilai langkah pemerintah saat ini bertolak belakang dengan kebijakan sebelumnya. Kebijakan yang dimaksud adalah kebijakan perhitungan kenaikan upah yang tercantum dalam omnibus law.
Berdasarkan PP Nomor 51 Tahun 2023 tentang perubahan atas PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) di masing-masing wilayah di Indonesia hanya berkisar 1,2 persen hingga 7,5 persen.
“Sebelumnya ada kebijakan omnibus law yang mengakibatkan upahnya menjadi murah,” tutur Mirah, dilansir detik.com.
Ia menjelaskan saat ini buruh dihadapkan pada fenomena yang menggetirkan, lantaran menerima kenaikan upah yang rendah, namun harus dihadapkan pada beragam pungutan yang diterapkan pemerintah. Selain itu, Mirah merasa kecewa karena pemerintah menerbitkan kebijakan yang mempengaruhi penghasilan kaum pekerja tanpa melibatkan pekerja itu sendiri.
“Buruh sudah terpuruk karena upahnya murah, inflasi tinggi, kemudian harga pangan juga tinggi. Nah, disisi lain pembuatan PP juga tidak pernah melibatkan partisipasi pekerja buruh, jadi kita tidak tahu menahu seperti apa bentuknya? Artinya ini bim salabim langsung jadi,” tandasnya. (STA)